Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Organisasi masyarakat (ormas) keagamaan diperbolehkan mengelola tambang dalam negeri. Keputusan ini tercantum dalam beleid anyar PP No 25 Tahun 2024 yang baru saja diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Merespons hal ini, anggot aKomisi VII DPR RI Mulyanto meragukan kemanfaatan pemberian izin usaha pertambangan khusus (IUPK) bekas perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) pada sejumlah ormas keagamaan.
Bahkan menurutnya, jika dilihat dari sudut pandang politik pemberian izin ini terkesan ada motif untuk bagi-bagi kue ekonomi.
Baca Juga: Soal Ormas Keagamaan Bisa Kelola Tambang, Begini Catatan PGI
"Secara regulasi-administrasi, dibenarkan dan masih sesuai dengan UU Minerba. Namun dalam sudut pandang politik, upaya ini sangat kentara motif untuk bagi-bagi kue ekonominya," jelas Mulyanto dalam keterangannya, Senin (3/6).
Lebih dari itu, pihaknya khawatir pemberian prioritas IUPK kepada ormas keagamaan tersebut membuat tata kelola dunia pertambangan semakin amburadul.
Apalagi saat ini, pemerintah dianggap gagal mengatasi persoalan tambang ilegal, hingga dugaan adanya beking aparat tinggi yang membuat berbagai kasus jalan di tempat. Di lain sisi, pembentukan satgas terpadu tambang ilegal sampai hari ini juga tidak memperlihatkan kemajuan berarti.
Mulyanto bahkan menilai kebijakan bagi-bagi izin bagi ormas ini kurang tepat. Menurutnya, yang harus dilakukan oleh presiden saat ini adalah penguatan instrumen pengawasan pengelolaan tambang.
Baca Juga: Ormas Dapat Jatah IUP, Pengamat: Tata Kelola Industri Pertambangan Alami Kemunduran
"Saat ini saja dua orang mantan Dirjen Minerba jadi tersangka, bahkan terpidana. Dan sampai hari ini Dirjen Minerba belum ada yang definitif,” ungkap Mulyanto.
Artinya, kata Mulyanto, pemerintah tidak serius mengelola pertambangan nasional. Pemerintah masih menjadikan IUPK sebagai komoditas transaksi politik dengan kelompok-kelompok tertentu.
Mulyanto juga pesimistis, pemberian izin dapat dijalankan secara profesional dan bisa berkontribusi bagi peningkatan penerimaan keuangan negara (PNBP). Pihaknya justru khawatir izin ini menimbulkan permainan baru di industri tambang, di mana yang akan mengelola sebetulnya adalah pemain lama berkedok ormas keagamaan.
"Tapi kita lihat saja di lapangan, apakah benar-benar dikelola pemain baru atau pengusaha yang itu-itu saja, yakni pengusaha eks PKP2B atau afiliasinya," jelasnya.
"Termasuk juga jumlah saham sesungguhnya, berapa jumlah saham ormas tersebut secara riil. Apakah benar-benar menjadi saham pengendali atau sekedar nama saja,” tambahnya.
Baca Juga: Ini Kata IMA Soal Ormas Keagamaan dapat Jatah IUP Tambang
Diketahui, Presiden Joko Widodo, Kamis, 30 Mei 2024 telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pasal 83A ayat (1) PP Nomor 25 Tahun 2024 menyebutkan bahwa beleid baru itu mengizinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan seperti, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah bisa mengelola wilayah izin pertambangan khusus (WIUPK).
WIUPK merupakan wilayah yang diberikan kepada pemegang izin. Berdasarkan Pasal 83A ayat (2), WIUPK yang dapat dikelola oleh badan usaha ormas keagamaan merupakan wilayah tambang batu bara yang sudah pernah beroperasi atau sudah pernah berproduksi.
Baca Juga: Kementerian ESDM Umumkan Lelang Prioritas 3 Blok WIUPK Mineral Logam dan Batubara
Meski demikian, berdasarkan Pasal 83A ayat (5), badan usaha ormas keagamaan yang memegang wilayah tersebut dilarang bekerja sama dengan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) atau terhadap perusahaan maupun pihak-pihak yang terafiliasi oleh perusahaan sebelumnya.
Penawaran WIUPK kepada badan usaha ormas keagamaan berlaku terbatas, yakni hanya lima tahun sejak PP Nomor 25 Tahun 2024 berlaku. Dengan demikian, penawaran WIUPK terhadap badan usaha ormas keagamaan hanya berlaku sampai 30 Mei 2029.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News