kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Omnibus Law Perpajakan atur rasionalisasi pajak daerah dan evaluasi perda


Selasa, 11 Februari 2020 / 17:07 WIB
Omnibus Law Perpajakan atur rasionalisasi pajak daerah dan evaluasi perda
Dirjen Perimbangan Keuangan?Astera Primanto Bhakti


Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Salah satu substansi yang akan diatur pemerintah pusat dalam Omnibus Law Perpajakan ialah mengenai rasionalisasi daerah. Hal tersebut dalam rangka menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri. 

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Astera Primanto Bhakti menjelaskan, prinsipnya kebijakan rasionalisasi pajak daerah terdiri dari dua hal . Pertama, penentuan tarif tertentu atas pajak daerah yang berlaku secara nasional oleh pemerintah pusat. 

Baca Juga: Kemenaker: Sebanyak 48,5% PMI bekerja di sektor formal di 2019

Astera mengatakan, pada intinya pemerintah ingin agar pajak-pajak yang dikenakan masing-masing pemda tidak mengganggu iklim investasi di daerah tersebut.

“Karena investor kan butuh kepastian dan biasanya juga akan menghitung economic burden dari usaha mereka setelah dikenakan pajak,” tutur Prima dalam Media Briefing di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Selasa (10/2). 

Meski memang, Astera mengakui bahwa rasio penerimaan pajak daerah terhadap keseluruhan pendapatan asli daerah (PAD) sebenarnya relatif kecil yaitu hanya 2%-3%, sedangkan sisanya berasal dari transfer dana ke daerah oleh pemerintah pusat.

Namun hal tersebut tak menutup fakta bahwa sejumlah tarif pajak daerah menjadi pengganggu investasi. “Misalnya, ada tarif yang besarnya 5% padahal ternyata secara keekonomian harusnya hanya 2%-3%, maka ini harus dirasionalisasi dan pemerintah pusat bisa tetapkan tarif yang berlaku secara nasional,” lanjut Prima. 

Baca Juga: DPR harap revisi UU 22/2009 tentang lalu lintas angkutan jalan selesai tahun ini

Contoh lain, ada tarif seperti pajak penggunaan air tanah yang berdasarkan perhitungan ternyata tumpang tindih dengan royalti yang telah dibayarkan oleh pengusaha. Maka pajak tersebut harus dirasionalisasi kembali. 

Dengan begitu, persaingan antar daerah ke depan bukan diukur dari besaran pendapatan pajaknya melainkan dari seberapa besar insentif dan kepastian usaha di setiap daerah. 



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×