Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ombudsman RI mendesak adanya undang-undang yang dapat mengawasi, menindak dan mengatur keberadaan fintech ilegal. Hal ini untuk melindungi masyarakat, khususnya dalam peredaran data-data pribadi.
Anggota Ombudsman Dadan Suparjo mengatakan, meskipun semua pihak mendukung adanya financial teknologi, tapi perlu pengawasan agar tidak dimanfaatnya pihak lain yang teramsuk ileagl.
"Itu adalah pelaku kejahatan online yang berbaju fintech, padahal bisnis fintech ini bermanfaat untik tunjang perekonomian UMKM," jelas Dadan saat preskon di Gedung Ombudsman pada Jumat (8/3).
Untuk itu, Ombudsman menggandeng Kementerian Komunikasi dan Informatika , Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan Bank Indonesia (BI) mendorong akan RUU yang memayungi mengenai perlindungan data pribadi karena dianggap paling banyak diselewengakan. Hal tesebut menjadi pagar untuk melindungi masyarakat dari segi data.
Selain perlindungan data pribadi, Dadan juga menjelaskan bahwa perlunya ada regulasi tingkat undang-undang mengenai pengawasan dan penyelewengan dari kejahatan online berbaju fintech.
Karena selama ini, baru tertangani oleh level peraturan OJK dan itupun hanya bagi fintech lending legal. "Baru tertangani oleh POJK namun hanya fintech yang legal atau terdaftar, lebih dari itu dibutuhkan regulasi yang lebih tinggi dari itu," tambah Dadan.
Saat ini sendiri sudah ada satgas yang mengawasi investasi yang terdiri dari 13 Kementerian/Lembaga.
OJK menyambut positif upaya Ombudsman agar terciptanya regulasi yang berskala nasional akan pengawasan dan penindakan fintech. Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan bahwa adanya fintech P2P Lending menjadi jembatan bagi pelaku-pelaku usaha yang tidak dapat terkover dalam pinjaman di perbankan.
"Indonesia itu luas, sulit untuk mendanai di daerah pelosok-pelosok itulah manfaat adanya fintech P2P Landing. Ada 99 fintech lending yang terdaftar dan kumulasi dana yang sudah dipinjamkan sekitar 26 triliun per Januari ini, pemberi sendiri 260 ribu orang, penerima sekitar 5,6 juta orang diseluruh penjuru Indonesia," terang Hendrikus.
Hendrikus menjelaskan bahwa saat ini terdapat AFPI yang menjadi mitra OJK dalam pengawasan dan penyelengara fintech P2P lending. AFPI sendiri memiliki code of conduct yang dimana disebut Hendrikus menjadi satu aturan temporer untuk menangani fintech lending ilegal yang menyelewengkan data masyarakat.
"Ini belum disahkan RUU perlindungan data tapi kami dari OJK dan AFPI batasi, yaitu kamera, mikrophone dan lokasi. Di luar itu jadi bukan fintech lending legal. Ini demi amankan data publik, penanganan isu perlindungan data secara temporer. Kami ambil sikap itu tadi tiga, di luar permintaan tiga itu bukan terdaftar di OJK," Jelas Hendrikus.
Selama ini sudah ada 803 fintech P2P lending yang diblokir oleh Kementerian Kominfo atas masukan dari OJK.
"Kominfo melakukan pemblokiran kami terlibat dalam satgas itu, jika ada yang ilegal kami blokir. Kami juga terus melakukan pengaisan fintech lending yang diduga ilegal untuk kami laporkan kepada OJK," jelas Kasubdit Pengendalian Konten Internet, Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika, Ditjen Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Anthonius Malau.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News