kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

OECD pangkas lagi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 5% di 2019 dan 2020


Kamis, 19 September 2019 / 19:46 WIB
OECD pangkas lagi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 5% di 2019 dan 2020


Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) kembali menurunkan proyeksinya terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu menjadi hanya 5% untuk tahun 2019 dan 2020.

Proyeksi tersebut lebih rendah dari perkiraan OECD pada Mei lalu di mana ekonomi Indonesia diramal masih dapat tumbuh pada level 5,1% di 2019 dan 2020. 

Dalam laporan proyeksi ekonomi interim edisi September, Kamis (19/9), OECD juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari sebelumnya 3,2% menjadi hanya 2,9% di 2019. 

Baca Juga: OECD pangkas prospek pertumbuhan ke level terendah sejak krisis 2008

Sementara, proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia untuk 2020 juga diturunkan dari 3,4% menjadi 3%. 

Kepala Ekonom Laurence Boone menjelaskan, pertumbuhan ekonomi dunia semakin rentan dan diliputi ketidakpastian akibat tensi perdagangan yang terus meningkat. Ketegangan perdagangan global menimbulkan kontraksi perdagangan, menurunkan keyakinan investasi, menimbulkan ketidakpastian kebijakan, serta membebani pasar finansial dengan sentimen risiko. 

“Kenaikan tajam harga minyak dunia akibat tensi geopolitik yang meningkat dan disrupsi suplai minyak Arab Saudi juga menambah ketidakpastian dan volatilitas keuangan global,” tutur Boone dalam laporannya. 

Dalam konteks Indonesia, Boone mengatakan, pertumbuhan ekonomi tertekan oleh perdagangan yang melemah terutama di kawasan Asia. Hal ini membuat pertumbuhan ekspor Indonesia tertahan.

Belum lagi, OECD mengestimasi, pertumbuhan permintaan domestik di China akan terus menurun sekitar 2% per tahun sehingga berdampak pada perlambatan ekonomi global yang signifikan.

Terutama jika pelemahan ini dibarengi dengan memburuknya pasar keuangan dan makin bertambahnya ketidakpastian global. 

“Tahun 2015-2016, pelemahan ekonomi China menyeret pertumbuhan PDB global 0,7% per tahun selama dua tahun berturut dan perdagangan global turun 1,5% per tahun dengan efek terbesar pada ekonomi negara-negara Asia,” kata Boone. 

Baca Juga: Begini strategi pemerintah menggenjot penerimaan pajak via ekonomi digital

Efek perlambatan ekonomi dan perdagangan global semacam itu, menurutnya, akan lebih parah jika kebijakan makroekonomi tidak mampu merespons secara penuh untuk menangkis (offset) tekanan ekonomi akibat terbatasnya ruang kebijakan. 

Namun, ia menilai, tingkat pendapatan yang dalam tren meningkat, tren tingkat kemiskinan yang menurun, serta kebijakan suku bunga acuan yang melonggar harusnya dapat menopang perekonomian. 

“Hal-hal itu harusnya dapat memastikan bahwa permintaan sektor swasta tetap terjaga kuat,” tutur Boone. 

OECD memandang, negara emerging-markets seperti India, Mexico, Brasil, Rusia, dan Indonesia memiliki keuntungan dengan kebijakan nilai tukar fleksibel (flexible exchange rate frameworks) dan eksposur utang luar negeri yang terkendali. 

Baca Juga: Ini komentar mantan dirjen pajak soal pajak over the top

Dengan tingkat inflasi yang tetap rendah, kebijakan moneter akomodatif dapat terus berlanjut. Namun di samping itu, OECD mendorong penguatan kebijakan fiskal pada negara emerging markets untuk mengimbangi instrumen moneter suku bunga acuan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×