kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini komentar mantan dirjen pajak soal pajak over the top


Minggu, 15 September 2019 / 19:04 WIB
Ini komentar mantan dirjen pajak soal pajak over the top


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Skema pajak Over The Top  (OTT) belum rampung sepenuhnya. Padahal pemerintah telah menyusun penerimaan negara dari ekonomi digital dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020.

Mantan Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi menyebut sebaiknya pemerintah tidak perlu pusing memikirkan konsep OTT. Menurutnya, pajak OTT sudah terterang dalam Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang PPh.

Dalam pasal 2 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 mengatakan bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12  bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Ada beberapa kriteria yang disebut sebagai BUT dalam pasal 2 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008. Salah satunya, BUT yang memiliki komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Baca Juga: Indonesia sulit pajaki ekonomi digital, BKF jelaskan alasannya

Melalui UU tersebut, Dirjen Pajak ke-16 itu menilai sejatinya Facebook, Google dan perusahaan OTT lainnya sudah terjerat pasal tersebut. “Inilah yang harusnya dipakai pajak untuk menjerat mereka,” kata Ken saat jumpa dengan wartawan, Jumat (15/9).

Ken mengungkapkan sebetulnya, Facebook sudah bayar Pajak Penghasilan (PPh) Badan di atas Rp 1 triliun yang tercatat beberapa tahun lalu. Sehingga, pajak OTP tidak perlu menunggu BUT dengan representasi memiliki kantor atau perwakilan di Indonesia.

Di sisi lain, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengatakan masalah ekonomi digital adalah isu internasional. Tidak hanya Indonesia yang kehilangan potensi penerimaan pajak. Untuk itu setiap negara diupayakan merumuskan penerapan pajak atas perusahaan digital.

Baca Juga: Biar Setara, E-Commerce Jadi Fokus Pengawasan Ditjen Pajak Tahun Depan

Suahasil bilang, semua negara tidak diam saja. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) tengah membahas skema pemungutan pajak ekonomi digital. 

Menurut Ken, Indonesia bukanlah anggota OECD sehingga rekomendasi dari organisasi tersebut tidak perlu dijadikan rekomendasi. Apalagi soal OTT sudah cukup jelas dalam UU PPh Nomor 36 tahun 2008 Pasal 2.

Mantan Dirjen Pajak tersebut menyarankan guna mempermudah data dan informasi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) perlu bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Infromasi guna mendapatkan data perusahaan OTT.

“Di Kominfo sudah tercatat aktifitas perusahaan OTT, siapa saja yang masuk ke Indonesia. Jadi soal data dan informasi seharusnya bukan kendala,” ungkap Ken.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×