kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.765.000   1.000   0,06%
  • USD/IDR 16.602   -55,00   -0,33%
  • IDX 6.161   -96,96   -1,55%
  • KOMPAS100 868   -17,29   -1,95%
  • LQ45 681   -11,00   -1,59%
  • ISSI 195   -3,00   -1,52%
  • IDX30 358   -3,64   -1,01%
  • IDXHIDIV20 434   -4,53   -1,03%
  • IDX80 98   -1,94   -1,93%
  • IDXV30 105   -1,59   -1,49%
  • IDXQ30 118   -1,02   -0,86%

OECD: Indonesia Jauh dari Risiko Gagal Bayar, Tapi Lonjakan Bunga Utang Menghantui


Minggu, 23 Maret 2025 / 14:47 WIB
OECD: Indonesia Jauh dari Risiko Gagal Bayar, Tapi Lonjakan Bunga Utang Menghantui
ILUSTRASI. Di tengah tantangan global akibat peningkatan utang dan biaya pinjaman yang semakin tinggi, Indonesia termasuk negara yang berhasil menjaga stabilitas pasar obligasi lokalnya.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Di tengah tantangan global akibat peningkatan utang dan biaya pinjaman yang semakin tinggi, Indonesia termasuk negara yang berhasil menjaga stabilitas pasar obligasi lokalnya.

Dalam laporan bertajuk OECD Global Report 2025: Financing Growth in a Challenging DEbt Market Environment, disebutkan bahwa banyak negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) di bawah US$ 300 miliar menghadapi riisko utang yang sangat tinggi atau bahkan dalam kondisi gagal bayar.

Menurut OECD, dari hampir 100 negara berkembang dan pasar ekonomi berkembang (EMDEs) yang memiliki obligasi berdaulat dan peringkat kredit dari tiga lembaga pemeringkat utama, 73 di antaranya memiliki PDB di bawah US$ 300 miliar. 

Negara-negara ini mencakup sekitar 90% dari EMDEs yang berada dalam risiko tinggi atau gagal bayar, sementara hanya 40% dari mereka yang memiliki peringkat investasi.

Sebaliknya, di antara negara dengan PDB antara US$ 300 miliar hingga US% 1 triliun, hanya sekitar seperempat yang berada dalam risiko tinggi atau gagal bayar. 

"Banyak dari negara-negara yang lebih kecil ini belum mengembangkan pasar obligasi mata uang lokal mereka," tulis OECD dalam laporannya, dikutip Minggu (23/3).

Baca Juga: OECD: Krisis Utang dan Risiko Gagal Bayar Ancam Negara Berkembang

Dari 30 negara EMDE yang memiliki porsi utang dalam mata uang asing melebihi 30% pada akhir tahun 2024, hampir semuanya adalah negara dengan PDB di bawah US$ 300 miliar, kecuali Argentina dan Türkiye. 

Negara-negara ini mencakup hampir semua negara dengan risiko utang yang sangat tinggi atau gagal bayar, kecuali Niger. 

"Hal ini menunjukkan hubungan antara perkembangan pasar obligasi mata uang lokal dan dampak siklus pengetatan global saat ini terhadap kerbelanjutan utang," sebut OECD.

Pada tahun 1980-an, negara-negara besar seperti Brasil, Meksiko, dan Peru mengalami gagal bayar atau restrukturisasi utang akibat kurangnya pasar obligasi lokal yang kuat. 

Indonesia bagaimana?

Pada akhir 1990-an, daftar negara yang mengalami kesulitan serupa mencakup Indonesia, Thailand, dan Filipina. Namun, sejak siklus pengetatan global dimulai pada 2022, negara-negara ini tidak mengalami gagal bayar atau restrukturisasi utang berkat perkembangan pasar obligasi mata uang lokal mereka. 

Saat ini, lebih dari 90% utang mereka berdenominasi dalam mata uang lokal, kecuali Peru.

OECD menyebut, negara-negara besar EMDEs telah mengadopsi pendekatan strategis dalam pengelolaan utang untuk memperkuat pasar obligasi lokal mereka. 

Meskipun penerbitan utang dalam mata uang asing mungkin tampak lebih menguntungkan dalam jangka pendek karena biaya yang lebih rendah dan tenor yang lebih panjang, negara dengan peringkat kredit rendah dapat menghadapi lonjakan biaya utang yang signifikan dalam mata uang lokal saat terjadi krisis. 

Mengingat sebagian besar pendapatan pemerintah berasal dari mata uang lokal, ketidaksesuaian ini dapat menghambat kapasitas pembayaran utang, terutama dalam kondisi kebutuhan pembiayaan ulang yang tinggi.

"Ketidaksesuaian ini dapat mempengaruhi kapasitas suatu negara untuk membayar utangnya, terutama karena kebutuhan pembiayaan kembali yang lebih tinggi saat ini," tulis OECD.

Baca Juga: OECD Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI, Sri Mulyani Angkat Bicara

Bagi negara-negara besar EMDEs yang telah mengembangkan pasar obligasi lokal, tantangan utama dalam krisis saat ini adalah meningkatnya pengeluaran bunga, yang memberikan tekanan pada anggaran pemerintah dan memperlambat pembangunan. 

Dengan tingkat bunga riil yang relatif tinggi di obligasi lokal EMDEs, keseimbangan primer yang dibutuhkan untuk menstabilkan rasio utang terhadap PDB pasca pandemi menjadi lebih tinggi. 

Hal ini mengurangi ruang fiskal untuk investasi dan pengeluaran yang diperlukan bagi pembangunan. 

"Namun, hal ini tidak terlalu berbahaya dibandingkan dengan krisis yang terjadi pada siklus pengetatan global sebelumnya," sebut OECD.

Selanjutnya: Sejumlah Indikator Ini Menunjukkan Daya Beli Masyarakat Semakin Mengkhawatirkan

Menarik Dibaca: Hujan Masih Turun di Daerah Ini, Cek Prediksi Cuaca Besok (24/3) di Jawa Timur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES) Brush and Beyond

[X]
×