Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mencatat ketersediaan obat untuk pasien tuberculosis (TBC) diprediksi hanya mencukupi hingga Februari 2026. Hal ini menimbulkan pertanyaan publik terhadap krisis obat TBC di tanah air.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan sekaligus dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ahmad Fuady mengatakan, yang dimaksud dengan krisis kemungkinan akibat dari keterbatasan pasokan obat bagi orang dengan diagnosis TBC kebal obat.
Menurutnya, orang tersebut tidak dapat diberi pengobatan tuberkulosis standar lini pertama.
“Selama ini, ketersediaan obat tersebut memang bersandar pada pendanaan dari donor internasional, terutama global fund, dan tidak semua obat dapat diproduksi di dalam negeri,” ujarnya kepada KONTAN, Senin (12/5).
Fuad menjelaskan, dengan adanya pemotongan sumbangan dari Amerika Serikat (AS) sebagai sponsor dana global fund, tentu terdapat penyesuaian dana yang dapat diterima oleh negara-negara yang selama ini dibantu dari global fund.
Baca Juga: Prabowo: Bill Gates Kembangkan Vaksin TBC, Indonesia Jadi Lokasi Uji Coba
“Berapa dana yang dipotong? Masih belum pasti dan dalam proses rekalkulasi dan negosiasi. Untuk obat TBC sensitif obat (standar lini pertama), ketersediaannya masih dapat dianggap aman dan sudah dapat diproduksi di dalam negeri,” jelasnya.
Fuad mengungkapkan, pemrintah dan beberapa pihak yang menerima bantuan tersebut tengah menyusun dan menghitung ulang prioritas pendanaan untuk memastikan bahwa program yang berhubungan langsung dengan pengobatan penyakit dapat terus didanai, setidaknya sampai akhir 2026.
Baca Juga: Uji Coba Vaksin TBC Bill Gates Dilakukan di Indonesia, Ini Penjelasan Menkes
“Ini upaya optimal yang dapat dilakukan, sambil pemerintah perlu menyusun exit strategy yang memastikan pendanaan cukup,” ungkapnya.
Dia menyebutkan, terdapat beberapa alternatif yang dapat dilakukan pertama, meningkatkan komitmen politik pendanaan dari APBN sesuai hasil terbaik cepat yang memasukkan TBC di dalamnya. Menurutnya, masalah TBC tak bisa diselesaikan dalam waktu cepat sehingga perlu dipikirkan pendanaannya dalam 5-10 tahun ke depan.
Kedua, pendanaan CSR dari badan usaha pemerintah membutuhkan komitmen politik dari pimpinan pemerintahan untuk memobilisasi pendanaan tersebut.
Ketiga, beberapa filantropis Indonesia tercatat menyumbang kontribusi Indonesia ke global fund, bahkan hingga US$ 65 juta untuk menanggulangi AIDS, TBC, dan malaria, serta US$ 10 juta untuk keluarga berencana.
Baca Juga: Uji Klinik Vaksin TBC Gates Foundation Diharapkan Selesai Akhir Tahun 2028
“Angka ini dapat diubah peruntukkannya menjadi kontribusi langsung ke pemerintahan Indonesia ditambah kontribusi dari filantropis lainnya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Fuad menambahkan, masalah TBC bukan sekedar obat, pemerintah harus memikirkan bagaimana deteksi dan skrining TBC tetap berjalan agar didiagnosis dengan tepat dan agar mereka memulai pengobatan dan tetap berobat sampai tuntas.
Dia bilang, ini membutuhkan komitmen lain, pendanaan untuk skrining dan diagnosis, alat tes molekular cepat dan biaya perawatan yang tidak murah, rontgen, serta pendampingan dari komunitas terhadap pasien TBC kebal obat.
“Efek samping obatnya cukup berat dan beban finansialnya berat sehingga berpotensi putus obat sebelum tuntas. Semua ini juga harus dipikirkan kelanjutannya,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut ketersediaan obat untuk pasien tuberculosis (TBC) yang ada saat ini mencukupi kebutuhan hingga Februari 2026.
Baca Juga: Bill Gates Bersiap Bantu Kembangkan Vaksin TBC
“Kami melihat kembali dan menghitung kembali kebutuhan obat itu dan kita lihat kembali ternyata masih cukup untuk memenuhi sampai Februari 2026,” ujar Plt Direktur Jenderal Penanggulangan Penyakit Kemenkes Murti Utami dalam rapat Panja dengan Komisi IX DPR, Rabu (7/5).
Murti menambahkan, anggaran pengobatan TBC pada tahun 2024 sebesar Rp 1,05 triliun dan tahun 2025 menjadi Rp 633,14 miliar. Dia mengatakan bahwa anggaran pengobatan nampak seperti turun. Hal ini karena pihaknya memperbaiki tata kelola pengadaan sehingga pengadaan obat melihat ketersediaan (buffer) stok yang masih ada di daerah – daerah.
“Kita akan duduk bersama lagi dengan Dirjen Farmalkes untuk menghitung kebutuhan obat di tahun 2026 dan tahun 2027. Kami menghitungnya 15 bulan supaya punya buffer masih ada di daerah – daerah,” ucap Murti.
Baca Juga: Stok Obat TBC Aman hingga 2026, Kemenkes Fokus Eliminasi dan Efisiensi Anggaran
Selanjutnya: Indihome Berpotensi Topang Kinerja TLKM, Cek Rekomendasi Sahamnya
Menarik Dibaca: PT PGE Targetkan Jadi Produsen Utama Hidrogen Hijau di Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News