Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Kerugian negara akibat pelanggaran cukai rokok pada tahun 2012 diprediksi senilai Rp 412 miliar hingga Rp 596 miliar. Angka tersebut merujuk hasil Survei Cukai Rokok Ilegal 2012 oleh Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) Universitas Gadjah Mada (UGM).
A. Tony Prasetiantono, Kepala PSEKP UGM mengatakan, perkiraan kerugian akibat cukai rokok ilegal ini mencapai 0,5% hingga 0,75% dari target penerimaan cukai tahun 2012 yang ditetapkan sebesar Rp 79 triliun.
Menurutnya, total potensi kerugian negara akibat cukai rokok ilegal tahun ini meningkat ketimbang estimasi kerugian dari hasil survei tahun 2010 lalu yang sekitar Rp 209 miliar-Rp 307 miliar. Atau sekitar 0,33% hingga 0,49% dari total penerimaan cukai tahun 2010 sebesar Rp 63 triliun.
"Hasil survei ini menunjukkan pelanggaran cukai rokok pabrikan tidak terdaftar sebagai penyumbang terbesar angka kerugian negara," kata Tony, Rabu (26/9).
Asal tahu saja, survei ini dilakukan di 16 provinsi dengan mengumpulkan 24.467 bungkus rokok. Pita cukai sampel rokok diindentifikasi berdasarkan jenis pelanggaran. Dari survei terbaru ini diketahui, tingkat pelanggaran meningkat dibandingkan survei yang sama tahun 2010 lalu.
Tony menjelaskan, pelanggaran secara dominan ditemukan pada cukai rokok golongan sigaret kretek mesin (SKM) golongan II, juga SKM yang tidak terdaftar. Bentuk pelanggarannya, semisal, menggunakan pita cukai asli namun salah peruntukkan, memakai pita cukai palsu, memakai pita cukai bekas dan rokok tanpa pita cukai.
Tren meningkat
Rahmat Subagio, Direktur Penindakan dan Penyidikan Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan mengapresiasi hasil survei cukai rokok ilegal tersebut. "Ini jadi masukan kalau pelanggaran cukai rokok trennya meningkat," ujarnya.
Nah, untuk menekan pelanggaran cukai rokok, Rahmat bilang, Bea Cukai menerapkan beberapa pendekatan. Pertama, mengefektifkan verifikasi lapangan untuk rokok yang tidak teregristasi. Kedua, membuat regulasi tentang batasan luas pabrik untuk mengontrol jumlah produksi.
Ketiga, pengetatan penjualan pita cukai lewat pengecekan jumlah pemesanan, apakah sesuai dengan kapasitas produksi. Keempat, pengaturan pelekatan pita cukai untuk produk rokok tertentu. Kelima, pengawasan di titik produksi tembakau, lokasi pengiriman dan pemasaran.
Muhaimin Moeftie, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) mengakui, pelanggaran cukai lebih banyak terjadi pada rokok kretek. "Dari rokok putih sangat kecil, karena persentasenya cuma 7% dari total produksi rokok," katanya.
Gaprindo, Muhaimin bilang, siap bekerjasama dengan Bea Cukai untuk memberikan informasi terkait peredaran rokok ilegal ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News