Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Amal Ihsan
JAKARTA. Menjelang hari buruh sedunia 1 Mei, nasib buruh perempuan di Indonesia masih buram. Tindakan diskriminasi upah dan fasilitas, pelecehan seksual, hingga pemaksaan cara berpakaian masih menjadi cerita sehari-hari.
Buruh perempuan lebih menderita dibanding buruh laki-laki karena banyak perusahaan di Indonesia masih memegang kebijakan, buruh perempuan hanyalah pembantu pencari nafkah dalam keluarga. Bukan penanggung jawab nafkah keluarga. Akibatnya banyak buruh perempuan tak mendapatkan tunjangan keluarga dan tunjangan kesehatan yang juga menempatkan anggota keluarga si buruh sebagai tertanggung.
Karena dianggap bukan tulang punggung ekonomi keluarga, buruh perempuan tidak diberikan fasilitas yang dibutuhkan seperti para buruh laki-laki. Kondisi ini masih banyak ditemui di kawasan industri terkemuka di Jakarta seperti Kawan Berikat Nusantara Cakung maupun Kawasan Industri Pulogadung.
"Padahal banyak fakta, buruh perempuan juga memegang tanggung jawab menafkahi keluarga karena misalnya berstatus single parent atau harus menafkahi orang tuanya yang sudah tua," ujar Lini Zurlia, Anggota Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) kepada KONTAN, Senin, (29/4).
Lebih menyedihkan lagi, buruh perempuan masih sering mendapat pelecehan seksual di tempat kerja. KSPI misalnya, menemukan banyak kasus ini i Jakarta Utara. Pelecehan terhadap buruh perempuan beraneka ragam seperti harus mau menikah dengan majikan atau atasan di pabrik agar diangkat sebagai karyawan tetap di perusahaan tersebut.
Sayang, data statistik jumlah kasus pelecehan seksual serta peta persebaran peristiwanya tak mampu ditunjukkan Lini. "Kami akui, sulit memberikan laporan secara pasti berapa jumlah kasus ini dan kasus itu. Sebagian besar Serikat Pekerja yang ada masih lemah dalam hal pendataan,"ujar Lini,
Kiprah perempuan di gerakan serikat pekerja juga belum menggembirakan. Walau sudah mulai bermunculan tokoh buruh perempuan seperti Ketua Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos, ketua Forum Bersama Lintas Buruh (FBLB) Jumisih, Sekjen Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) Emelia Yanti Siahaan, namun secara umum kiprah perempuan di kepemimpinan serikat pekerja masih minim. "Hingga saat ini, 80% dari ratusan serikat pekerja yang ada di DKI Jakarta kepemimpinannya masih didominasi laki-laki," kata Lini.
Jangan lupakan juga, nasib buruh perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga lebih buruk lagi. Para buruh perempuan yang kebanyakan masih gadis remaja ini mengalami diskriminasi dalam berbagai bentuk. Sebut saja, jumlah jam kerja para PRT Anak ini yang dalam sehari harus bekerja selama 14-18 jam sehari. Mereka mengerjakan lebih dari satu pekerjaan, di upah murah, banyak yang tidak mendapat hari libur maupun cuti serta jaminan kesehatan halnya para pekerja di sektor formal.
Lini berharap pemerintah segera melakukan berbagai langkah konkret untuk memperbaiki nasib buruh perempuan. Apalagi sejumlah perangkat hukum untuk melindungi buruh perempuan sudah ada. Mulai dari Undang-Undang No. 7/ Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW), Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1998 Tentang Ratifikasi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau penghukuman kejam, tidak manusiawi dan bermartabat, Undang-Undang Nomer 24/ Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan masih banyak lagi. "Tinggal komitmen sunguh-sungguh dari pemerintah untuk melakukan penegakan hukum dari aturan yang sudah ada aturannya itu," pungkas Lini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News