kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

MA penjarakan pengusaha pembayar upah murah


Kamis, 25 April 2013 / 07:39 WIB
MA penjarakan pengusaha pembayar upah murah
ILUSTRASI. Ada banyak faktor yang membuat nyeri dada sebelah kiri. (Tribun Jateng/ Hermawan Handaka)


Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dadan M. Ramdan

JAKARTA. Ini peringatan keras bagi pengusaha yang gemar mengupah pekerja dibawah upah minimum. Mahkamah Agung (MA) telah mengganjar pengusaha dengan hukuman penjara karena membayar upah buruh di bawah aturan upah minimum.

Putusan kasasi MA ini tampaknya bisa menjadi yurisprudensi bagi hakim lainnya yang menangani kasus-kasus serupa kian marak belakangan. Maklum, vonis pidana bagi pengusaha dalam sengketa perburuhan ini merupakan sejarah baru bagi Indonesia.

Jamaknya, penyelesaian perselisihan buruh dan pengusaha diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial yang lebih ke aspek perdata.
Ridwan Mansyur, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) menyatakan, MA telah memutus kasus pelanggaran aturan ketenagakerjaan. "Terdakwa tidak memberikan upah sebagaimana seharusnya," katanya kepada KONTAN, Rabu (24/4).

Asal tahu saja, MA menjatuhkan vonis satu tahun bui dan denda Rp 100 juta kepada pengusaha asal Surabaya, Tjioe Christina Chandra. Tjioe terbukti bersalah tidak membayar gaji 53 karyawannya sesuai UMK di daerah itu.

Putusan kasasi dari MA keluar pada Maret lalu. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas Tjioe. Atas dasar ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan kasasi ke MA.

Menurut Ridwan, hakim menilai Tjioe terbukti melanggar pasal 90 ayat 1 dan pasal 185 ayat 1 Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Ia juga menyatakan, putusan ini sudah tepat dan MA konsen terhadap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, korupsi dan perburuhan. MA berharap putusan kasasi ini menjadi yurisprudensi bagi hakim di seluruh Indonesia yang tengah menangani kasus serupa.

Pengusaha sendiri menganggap putusan MA sebagai bentuk kriminalisasi terhadap dunia usaha yang bisa berdampak buruk terhadap investasi di dalam negeri. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta Soeprayitno menilai, perkara hubungan industrial tidak perlu sampai masuk ke ranah pidana. "Sebenarnya, soal pengupahan itu masuk ke ranah perdata saja," tandasnya.

Soeprayitno berdalih, permasalahan pengupahan masih bisa diperdebatkan dan banyak pertimbangan yang perlu diperhatikan. Jika pengusaha membayar upah dibawah UMK, tapi masih setara dengan nilai kebutuhan hidup layak (KHL) hasil survei Dewan Pengupahan, maka tidak perlu dipermasalahkan.

Ketua Bidang Advokasi Serikat Pekerja Nasional (SPN) Djoko Heryono menilai vonis pidana MA terhadap pengusaha yang tidak mengupah sesuai aturan merupakan kemenangan buruh dalam memperjuangkan hak-haknya yang dijamin konstitusi. "Putusan  ini memberi kesadaran bagi pekerja untuk gigih menuntut haknya sekaligus memalukan bagi pemerintah," ujarnya.

Djoko melihat praktik pembayaran upah murah masih banyak terjadi di lapangan, akibat lemahnya pengawasan pemerintah. Padahal, Peraturan Presiden No. 21/2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan menyebutkan tugas pengawasan diserahkan ke  provinsi, kabupaten dan kota.  
Sayang, tingkat pengawasan dan penegakan hukum masih rendah sehingga buruh tetap tetap dirugikan dalam hubungan industrial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×