Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada bulan Februari 2024, momentum pemilihan umum (pemilu) yang juga berdekatan dengan bulan Ramadan tidak mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dengan signifikan di Indonesia.
Salah satu indikasinya adalah perlambatan pertumbuhan likuiditas perekonomian, yang tercermin dari jumlah uang yang beredar secara luas (M2).
Menurut laporan Bank Indonesia (BI), pada Februari 2024, jumlah uang yang beredar mencapai Rp 8.739,6 triliun, dengan pertumbuhan sebesar 5,3% year on year (yoy). Namun, pertumbuhan ini mengalami perlambatan sedikit dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 5,4% yoy.
Baca Juga: BI: Uang Beredar pada Februari 2024 Capai Rp 8.739,6 triliun
Asisten Gubernur BI, Erwin Haryono, menjelaskan bahwa pertumbuhan ini dipengaruhi oleh uang yang beredar secara sempit (M1), yang tumbuh sebesar 5,2% yoy pada Februari 2024, setelah tumbuh sebesar 4,9% yoy pada bulan sebelumnya. M1 sendiri berkontribusi sebesar 54,8% terhadap M2.
Pertumbuhan M1 terutama disebabkan oleh peningkatan uang kartal di luar bank umum dan bank perkreditan rakyat, serta tabungan rupiah yang dapat ditarik sewaktu-waktu.
Pada Februari 2024, jumlah uang kartal yang beredar mencapai Rp 911,7 triliun, dengan pertumbuhan sebesar 12% yoy, yang lebih tinggi dari pertumbuhan pada bulan Januari sebesar 10,3% yoy. Sementara itu, tabungan rupiah yang dapat ditarik sewaktu-waktu tercatat sebesar Rp 2.235,1 triliun, dengan pertumbuhan sebesar 3,9% yoy, meningkat dari pertumbuhan sebelumnya yang sebesar 3,8% yoy.
Baca Juga: Pertumbuhan Kredit Melambat, BI Akan Perluas Insentif Likuiditas ke Sektor-Sektor Ini
Di samping itu, uang kuasi, yang mencakup 44,8% dari M2, mencapai Rp 3.917,7 triliun, dengan pertumbuhan sebesar 5,3% yoy. Namun, pertumbuhan ini juga mengalami perlambatan dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai 6,1% yoy, disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan simpanan berjangka dan giro valas.
Penyebab lain dari perlambatan pertumbuhan uang beredar adalah perlambatan penyaluran kredit. Menurut Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, ini sejalan dengan penurunan simpanan berjangka dan tabungan yang dipengaruhi oleh harga bahan pangan yang tinggi.
Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI), Banjaran Surya Indrastomo, menambahkan bahwa penyaluran kredit juga mengalami perlambatan dari 11,5% di bulan Januari menjadi 11% pada bulan Februari.
Baca Juga: Kredit Perbankan Mengendor, Uang Beredar Ikut Melambat pada Februari 2024
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyatakan bahwa kebijakan BI yang mempertahankan suku bunga tinggi membuat biaya kredit relatif mahal, sehingga bank menjadi lebih hati-hati dalam menyalurkan kredit.
Selain itu, permintaan kredit yang menurun dari masyarakat juga dipengaruhi oleh inflasi yang tinggi dan daya beli yang rendah.
Yusuf juga menyoroti penyesuaian aktivitas luar negeri pada bulan yang sama, di mana depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, aliran modal keluar, dan penyesuaian tagihan bersih kepada pemerintah pusat menjadi faktor utama penyesuaian tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News