Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Upaya menggugat Undang Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara karena dinilai mengancam kemerdekaan hak-hak sipil, perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan pers, akhirnya kandas di meja majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Judicial review UU Intelijen Negara ini didaftarkan pada 5 Januari lalu oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Elsam, Imparsial, Setara Institute, YLBHI dan sejumlah warga negara yang menjadi korban operasi intelijen.
Para pemohon menguji 16 pasal dalam beleid tersebut, antara lain pasal 1 ayat (4) dan (8), pasal 4, dan pasal 6 ayat (3). Alasannya, sejumlah pasal itu bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain melanggar konstitusi, aturan tersebut multitafsir.
Dalam amar putusannya, MK menilai, latar belakang UU Intelijen dibuat agar intelijen tidak dimanfaatkan penguasa untuk kepentingan pribadi. UU Intelijen sudah memenuhi ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945, sehingga pelanggaran HAM masa lalu bisa dicegah.
Menurut MK, UU Intelijen secara jelas dan tegas mengatur koordinasi dan kerjasama intelijen negara lain, kode etik intelijen negara, pengawasan dan sanksi pidana. Artinya, intelijen memiliki payung hukum kuat untuk melakukan tugas dan wewenangnya.
Mahfud MD, Ketua MK menjelaskan, pelanggaran HAM oleh intelijen di masa lalu justru mempertegas perlunya beleid khusus dan menyeluruh yang mengatur bidang intelijen. "Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ungkap Mahfud saat membacakan putusan itu di gedung MK, Rabu (10/10).
Akil Mochtar, Hakim Konstitusi menambahkan, keinginan para pemohon agar definisi ancaman dijelaskan secara terperinci justru akan membatasi ruang gerak intelijen.
Nurkholis Hidayat, kuasa hukum pemohon, kecewa dengan putusan MK ini. Sebab, MK telah menyandarkan definisi mengenai ancaman dan rahasia intelijen yang menurut pemohon sangat fleksibel dan mudah disalahgunakan.
Implementasi UU Intelijan sangat tergantung dari siapa yang memegang kekuasaan negara. "Bemasalah bila yang berkuasa rezim jahat, sehingga sangat berbahaya bagi warga negara," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News