Reporter: Epung Saepudin, Lamgiat Siringoringo, Arief Ardiansyah, Ardian Taufik Gesuri | Editor: Edy Can
Karena menyadari proses repatriasi ini urusan antarpemerintah, E. Suharto juga meminta bantuan kepada pemerintah. “Saya membuat surat resmi kepada pemerintah untuk bisa membantu proses repatriasi,” katanya.
Di sinilah awal mula kemunculan dua lembar protective statement dari Bambang di tahun 2007 dan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Sudi Si-lalahi pada 2003. Bahkan, dalam proses pembahasan repatriasi bersama pemerintah, E. Suharto juga mengikuti rapat di Departemen Keuangan (Depkeu). E. Suharto menyebut ada tiga–lima kali pertemuan di Depkeu.
Namun, E. Suharto menampik bantuan pemerintah ini sebagai bentuk kongkalikong. Sebagai warga negara, dia berhak mendapat bantuan pemerintah. Dia menyebut pemerintah juga tidak asal membantu saja karena juga mengecek kebenaran adanya uang Malaysia tersebut. “Jadi, tidak ada deal-deal pembagian uang karena ini adalah harta kerajaan,” katanya.
Tapi, keberadaan deal komisi 15% untuk perwakilan Malaysia seperti tertera di dokumen perjanjian itulah yang menyeruakkan isu tak sedap adanya bagi-bagi duit komisi sebesar RM 18,75 miliar atau 15% dari RM 125 miliar di negeri jiran.
Sepertinya si penulis blog hanya menerima informasi soal bagi-bagi komisi itu saja. Padahal, “Transaksi itu belum terlaksana,” kata E. Suharto.
Nah, klarifikasi E. Suharto ini sesuai dengan dokumen yang diterima KONTAN. Pada tanggal 18 Juni 2008, saat E. Suharto seharusnya mengirim duit, Bambang mengirim surat ke Thajudeen untuk mengubah teknis penukaran uang. Dalam surat itu, Bambang menyatakan, dia mendapat saran dari Mulia P. Nasution, Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan, agar ringgit itu tetap di Jakarta (lihat infografik: Lika-liku Upaya Pewaris Kerajaan Pagaruyung Mencairkan Harta Warisan).
Namun, Pemerintah Malaysia menolak perubahan rencana itu. Mereka bersikukuh, duit harus dikirim dulu dan dicek keasliannya. Setelah itu, baru ada transfer dana dari pemerintah Malaysia ke rekening E. Suharto di Maybank.
Inilah yang membuat urusan repatriasi duit ringgit tersebut berkepanjangan. E. Suharto sendiri mengaku tak tahu-menahu penyebab pemerintah Malaysia menunda penukaran itu. Dia menduga, salah satu penyebab mandeknya repatriasi adalah beralihnya pemerintahan Badawi ke Datuk Seri Najib Tun Razak. Itulah sebabnya, baru-baru ini E. Suharto mengirim surat ke PM Najib untuk melanjutkan proses repatriasi.
E. Suharto juga berharap, upayanya ini dilihat secara murni sebagai usaha pengembalian aset bekas kerajaan Indonesia pada negara. “Mau siapa latar belakang presidennya, akan kami kasih,” ujar E. Suharto.
Para pejabat pemerintah yang disebut-sebut di dokumen ini membantah cerita harta Pagaruyung. Sudi Silalahi yang kini menjabat Menteri Sekretaris Negara menyebut, upaya repatriasi itu hanya sebatas rumor. “Saya pernah dengar soal itu tapi dari media saja,” kata Sudi.
Bambang, yang setelah menjabat Sekretaris Militer Presiden RI bertugas sebagai Deputi bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan Kepala Bappenas, mengaku tak lagi bisa memberikan keterangan lantaran sudah pensiun sejak 1 April lalu. “Karena saya sudah pensiun, saya harus tahu diri dan sudah tidak berhak untuk memberikan keterangan atau jawaban terkait hal tersebut, maaf,” kata Bambang melalui pesan pendek.
Adapun Mulia mengaku terkejut ada dokumen yang menyebut namanya. Dia menegaskan, proses semacam ini adalah domain Kementerian Luar Negeri, bukan Kementerian Keuangan. Yang pasti, harta kekayaan kerajaan masa lalu itu sudah jadi bagian dari kekayaan negara. “Wah, wah, wah, luar biasa. Yang seperti ini harus dicek lagi. Kami sangat berhati-hati dengan orang-orang yang mengklaim memiliki informasi kekayaan masa lalu,” katanya.
Wakil Duta Besar Malaysia di Jakarta Syed Muhammad Hasrin juga mengaku tidak mengetahui isu repatriasi ini. “Saya juga tidak pernah lihat surat-menyuratnya,” kata Hasrin, melalui pesan pendek.
Percaya atau tidak, biarlah waktu yang membuktikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News