Reporter: Epung Saepudin, Lamgiat Siringoringo, Arief Ardiansyah, Ardian Taufik Gesuri | Editor: Edy Can
JAKARTA. Kisah kekayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara kerap menjadi pembicaraan seru di negara lain. Begitu pula kisah harta warisan Kerajaan Pagaruyung, Tanah Datar, Sumatra Barat.
Sebuah blog di Malaysia pada awal Januari lalu mengungkap dokumen upaya repatriasi uang ringgit Malaysia lama dari Indonesia ke Malaysia. Nama blog itu uncleseekers.blogspot.com. Tentu, cerita di blog itu tak berujung kehebohan di Malaysia bila tidak dibumbui aroma keterlibatan pejabat tinggi dari kedua negara bertetangga ini.
Lewat tulisan berjudul Komisen RM 18 billion dari RM 125 billion milik siapa?, blog ini mengungkap upaya repatriasi duit lama senilai RM 125 miliar atau setara Rp 350 triliun (dengan kurs Rp 2.800 per RM) ke Malaysia. Barangkali, dengan alasan keamanan, blog ini banyak menyebut beberapa pihak yang terkait dalam transaksi ini dalam inisial nama. Si penulis blog juga menutup nama-nama yang ada dalam dokumen korespondensi repatriasi.
Memang, blog ini tidak menyebutkan pemilik duit itu adalah Kerajaan Pagaruyung. Namun, sumber KONTAN mengungkapkan, pemilik uang tersebut adalah kerajaan yang berdiri pada tahun 1343 itu. Dokumen yang diperoleh KONTAN menyebut, “transaksi” repatriasi ringgit ini terjadi antara E. Suharto, pria asal Indonesia, dan Sekretaris Pribadi Perdana Menteri Malaysia Datuk Mohamed Thajudeen bin Abdul Wahab. Nah, blog uncleseekers menyebut, pelaku utama repatriasi ini Mr E dan Datuk MT.
Entah bagaimana caranya, dalam upaya repatriasi ringgit itu, E. Suharto berhasil mendekati pejabat negeri ini. Karena, kemudian, muncul rekomendasi dari Sekretaris Militer Presiden RI kala itu Bambang Sutedjo.
Bambang mengeluarkan protective statement buat E. Suharto untuk mengurusi penukaran ringgit Malaysia lama menjadi mata uang yang masih berlaku. Tak hanya itu, Bambang juga mengeluarkan surat kepada Gubernur Bank Negara Malaysia dan Menteri Keuangan Malaysia untuk memuluskan upaya ini.
Agar upaya repatriasi ini sukses, E. Suharto bekerjasama dengan sebuah perusahaan di Malaysia bernama Intra Alliance Consult Sdn Bhd. Dalam surat perjanjian itu, E. Suharto bersedia membayar fee repatriasi sebesar 15% dari jumlah uang yang ditukarkan. Sisanya akan dikirim melalui Malayan Banking Sdn Bhd (Maybank).
Setelah beberapa kali berkorespondensi, muncul kesepakatan, repatriasi tahap pertama senilai RM 2 miliar akan dilakukan 18 Juni 2008. Bahkan, E. Suharto telah mengirim perincian pemindahan ringgit lama dari Bandara Halim Perdana Kusuma ke Bandara Subang di Malaysia melalui surat movement order tanggal 6 Juni 2008.
Saat ditemui KONTAN pekan lalu, E. Suharto memastikan adanya kewajiban Kerajaan Malaysia kepada Kerajaan Pagaruyung. Dia lalu mengisahkan muasal aliran ringgit dari Malaysia ke Sumatera Barat.
Awalnya, tahun 1955, pemimpin pertama Malaysia Tunku Abdul Rahman bertemu dengan Presiden RI Soekarno. Kedua pemimpin ini membicarakan soal kemerdekaan penuh Malaysia dari Inggris. Salah satu yang dibicarakan adalah keinginan Malaysia mencetak uang.
Namun, saat itu, Malaysia tidak memiliki jaminan atau kolateral berupa emas sebelum menerbitkan uang kertas. Singkat cerita, Malaysia mendapatkan emas itu dari Pagaruyung.
Setelah kolateral emas itu diterima dibuatlah perjanjian antara Malaysia dengan kerajaan tersebut. Malaysia harus membayar pinjaman ini selama 30 tahun–40 tahun. Malaysia rutin membayar sampai dengan tahun 1988. “Setelah itu, tahun 1989 sampai tahun 2010, Malaysia tidak membayar lagi,” ujar E. Suharto yang mengklaim sebagai keturunan kerajaan ini.
E. Suharto tentu juga tidak mau dibilang asal bicara. Menurut dia, perjanjian dengan Malaysia ini dituangkan dalam dokumen resmi. Dokumen itu juga tersimpan di Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, dan salinannya tersimpan di sebuah bank di Swiss.
Pengajar sejarah Minangkabau di Universitas Islam Negeri Imam Bonjol, Padang, Sumatra Barat, Rusydi Ramli mengaku pernah mendengar cerita pengiriman emas ke Malaysia pada tahun 1950-an. Tapi, detailnya seperti apa, dia mengaku tidak tahu dan tidak terlalu mendalami. Dia hanya memastikan ada hubungan erat, bahkan pertalian darah, antara Kerajaan Pagaruyung dengan Kerajaan Negeri Sembilan. “Ketika Istana Pagaruyung terbakar, ada bantuan dari Malaysia,” katanya.
Kembali ke masalah pembayaran imbal hasil emas, hingga tahun 1988 terkumpul duit RM 125 miliar. Lantaran berupa ringgit lawas, agar bisa dipakai untuk bertransaksi, duit itu harus “diremajakan”. E. Suharto menyadari, upaya “meremajakan” duit ini sulit.
Hingga suatu ketika, E. Suharto bertemu dengan warga Malaysia bernama Datuk Amir, yang mengaku orang dekat Perdana Menteri Abdullah Badawi, pada 2003 silam. Amir meyakinkan E. Suharto bisa membantu untuk menukarkan uang ringgit jadul, yang diterbitkan Board of Commisioner of Currency Malaya, dengan yang baru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News