Reporter: Benedicta Prima | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Januari 2019 sebesar 0,32% secara bulanan atau 2,82% secara tahunan.
Kendati rendah, inflasi harga bergejolak alias volatile terhitung tinggi. Mencapai 0,97% secara bulanan atau 1,76% secara tahunan. Sehingga, andilnya dalam menyumbang inflasi sebesar 0,17%.
"Ke depan, inflasi komponen bergejolak ini perlu diperhatikan," jelas Kepala BPS Suhariyanto, Jumat (1/2).
Berdasarkan komoditas, penyumbang inflasi terbesar adalah komoditas ikan dengan andil 0,06%, disusul harga beras yang andilnya 0,04%. "Beras relatif stabil. Berbeda dengan harga beras Januari 2018 yang andilnya hingga 0,24%," imbuh dia.
Suhariyanto menjelaskan pemerintah perlu benar-benar menjaga inflasi bergejolak karena bobotnya yang besar. Dia merinci, salah satunya adalah beras dengan bobot 3,8% sehingga sekecil apapun perubahan harga akan sangat berdampak besar ke inflasi. Kemudian disusul perubahan harga daging ayam ras.
Dengan rincian tersebut, Suhariyanto menjelaskan produk pertanian memang rentan terhadap cuaca. Sedangkan BMKG telah merilis bahwa curah hujan tinggi akan terjadi selama Januari hingga April 2019.
"Banyak faktor yang tidak terduga. Kita harus memberi perhatian ke volatile food," jelas Suhariyanto.
Pihaknya akan terus berkoordinasi dengan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk menjalankan kebijakan 4K yakni keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi dan komunikasi efektif.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira juga mengatakan perlunya memberi perhatian pada inflasi volatile food seiring curah hujan yang tinggi.
"Komoditas yang memiliki pengaruh besar ke inflasi pada awal tahun biasanya beras," ujar Bhima.
Hingga Februari, jelas Bhima, panen raya belum merata di semua wilayah. Dari data BPS, bulan Januari 2018 lalu produksi beras secara nasional hanya 1,55 juta ton sedangkan konsumsi 2,51 juta ton.
"Bulan Februari mulai surplus beras tapi masih tipis. Puncak panen raya biasanya Maret-April," ungkap dia.
Selain itu, pemerintah juga mesti memperhatikan bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik bersubsidi. Sebab Bhima melihat belum ada kepastian paska pemilu apakah pemerintah masih menahan harga.
"Ini berkaitan dengan defisit transaksi berjalan dari sektor migas dan kondisi keuangan BUMN penugasan," jelas Bhima.
Apabila BBM dan tarif listrik naik, inflasi administered prices pasti akan ikut terdorong.
Bhima juga menyoroti kontribusi tarif angkutan udara terhadap inflasi meskipun relatif kecil. Kondisi ini terjadi karena ditutupi oleh turunnya tarif angkutan darat dan laut paska libur tahun baru. Namun efek kenaikan tarif maskapai penumpang, dan kargo bagasi bisa memicu inflasi transportasi pada Februari mendatang.
Hal serupa juga diungkapkan ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto. Menurutnya pemerintah harus tetap mengendalikan harga dengan menjaga suplai pangan domestik, mendorong utilisasi energi baru dan menjaga koordinasi dengan BI untuk mengendalikan inflasi inti.
Myrdal memprediksi inflasi akhir tahun 2019 mengalami kenaikan menjadi 3,7% karena penyesuaian harga dari produsen ke konsumen yang tertunda tahun lalu efek dari kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan rupiah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News