Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan melakukan reformasi hukum. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan sejumlah rencana reformasi hukum.
Mahfud mengemukakan 3 rencana melakukan reformasi hukum. Pertama, reformasi moral dan kultural. Mahfud mengingatkan agar semua pihak terkait dalam peradilan, termasuk hakim mesti menjunjung tinggi moral agar tercipta putusan yang adil.
"Ingat, kita itu punya moralitas. Kemudian membangun kultur hukum," kata Mahfud dalam diskusi Reformasi Sistem Hukum Nasional di Sekolah Partai PDIP, Kamis (13/10).
Kedua, Mahfud mengusulkan agar ASN/pegawai yang bekerja di lingkungan Mahkamah Agung langsung dikelola pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB). Sebab, mafia peradilan biasanya bermula dari pegawai/ASN tersebut.
"Sehingga kita berpikir ya sudah dirolling saja 2 tahun sekali biar dia enggak sempat ngatur perkara," ujar Mahfud.
Baca Juga: DPR Setujui Pencabutan Persetujuan Hasil Fit and Proper Test Sudrajat Dimyatiya
Mahfud menyebut, pemindahan dan pencopotan hakim tidak bisa dilakukan pemerintah karena hanya Mahkamah Agung (MA) yang bisa melakukan hal tersebut. Lalu, adanya usulan agar Kemenpan RB bisa melakukan mutasi bagi pegawai/ASN sekretariat jenderal dan kepaniteraan di lingkungan MA yang berupaya melakukan penyimpangan untuk mencegah terjadinya mafia peradilan.
"Kalau PDIP bisa mendukung ini nanti kita reformasi itu, beberapa pasal aja. Seluruh ASN yang ada di berbagai lembaga negara, termasuk di Mahkamah Agung, itu mutasi, berada di Kemenpan RB. Ada laporan paniteranya main (kasus), pindah, dibuat aturan pemindahan yang cepat, pemindahan sementara dan sebagainya, kalau itu disetujui itu reformasi jangka pendek," kata Mahfud.
Ketiga, Presiden Jokowi meminta rancangan undang-undang perampasan aset dalam tindak pidana segera disahkan agar orang tidak berani melakukan tindak pidana korupsi.
Lalu, Mahfud mengusulkan adanya RUU tentang Jabatan Hakim. Hal ini agar hakim tidak menyimpang.
"Bagaimana cara mengangkatnya, bagaimana cara mengawasinya, membinanya dan seterusnya ada di RUU Jabatan Hakim," terang Mahfud.
Selain itu, pemerintah juga akan mengusulkan penguatan Komisi Yudisial (KY) sesuai dengan ide awal pendirian KY. Sebab, kewenangan KY telah dipotong melalui uji materiil di MK. Dengan dikabulkannya uji materiil tersebut, KY tidak lagi dapat memberikan sanksi langsung kepada hakim yang menyimpang. Namun harus melalui koordinasi dengan Mahkamah Agung untuk menentukan sanksi apa yang diberikan kepada hakim yang menyimpang tersebut.
"Kalau misalnya ada ada hakim jelas nakal, nanti rembuk apa hukumannya, rembuk antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Komisi Yudisial ngga boleh menjadikan sanksi sendiri ngga boleh, harus lewat Mahkamah Agung. Padahal, dulu maunya terpisah agar ada check and balancing," jelas Mahfud.
Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, pembahasan reformasi sistem hukum sangat fundamental agar terciptanya keadilan bagi rakyat. Menurutnya, pembahasan konstitusi dan budaya hukum penting dilakukan untuk membawa demokrasi dalam wajah keadilan.
Ketua Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan DPP PDI Perjuangan, Yasonna H. Laoly, menegaskan pentingnya dilakukan reformasi sistem hukum untuk penguatan sistem hukum nasional serta optimalisasi check and balances system.
Yasonna mengatakan, reformasi sistem hukum sudah banyak dilakukan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Semua dilakukan demi menciptakan hukum yang benar-benar berfungsi untuk melindungi dan menyejahterakan segenap bangsa Indonesia. Antara lain dengan memperkenalkan metode omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, perombakan struktur kelembagaan, dan juga sosialisasi empat pilar untuk membumikan Pancasila dalam menciptakan budaya hukum yang bijaksana.
“Reformasi sistem hukum ini harus terus kita lanjutkan,” kata Yasonna.
Dalam pembangunan reformasi sistem hukum, kata Yasonna, setidaknya terdapat tiga sub sistem hukum yang harus dibangun, yakni: substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture).
“Pembangunan substansi hukum harus bersifat dinamis, mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat, yang berorientasi pada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,” ungkap Yasonna.
Guru Besar Ilmu Kriminologi di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) itu menuturkan, adapun struktur hukum berkaitan dengan pembangunan secara kelembagaan para penegak hukum.
Menurut Yasonna, keberhasilan struktur hukum suatu negara dapat dikaji dari bagaimana kesuksesan lembaga penegak hukum dalam mengupayakan tindakan preventif dan represif bagi pelanggar hukum.
Namun realitasnya, sambung Yasonna, masih banyak aparat penegak hukum yang seharusnya bertindak menegakkan hukum akan tetapi malah melanggar hukum, sehingga berdampak pada terdegradasinya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia.
“Kondisi faktual ini telah menjadi suatu peringatan akan pentingnya penataan kembali komponen-komponen dalam sistem hukum negara kita terutama terhadap penataan lembaga penegak hukum, agar penegakan hukum di Indonesia tetap dalam koridor dan cita-cita tujuan bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945,” jelas Yasonna.
Kemudian, mengenai budaya hukum, kata Yasonna, berkaitan dengan bagaimana kesadaran masyarakat dalam menaati hukum.
“Ketiga unsur inilah yang dapat mempengaruhi keberhasilan penegakan hukum di suatu negara,” imbuh Yasonna.
Baca Juga: Soal Tragedi Stadion Kanjuruhan, Mahfud MD: Presiden Tunggu Laporan TGIPF
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News