Reporter: Dyah Megasari |
JAKARTA. Menteri Keuangan M Chatib Basri dilantik per 22 Mei 2013 menggantikan Agus DW Martowardojo yang menduduki posisi baru sebagai Gubernur Bank Indonesia. Masa kerja Chatib sebagaimana periode Kabinet Indonesia Bersatu II akan berakhir sekitar Oktober 2014.
Kompas berkesempatan mewawancarai Chatib di ruang kerjanya di Gedung Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan di Jakarta, Rabu (26/6). Wawancara berlangsung santai selama 1,5 jam tentang sejumlah isu mutakhir dan tantangan Indonesia ke depan. Berikut petikannya.
Harga BBM dinaikkan, tapi masalah subsidi tidak berarti selesai?
Betul sekali bahwa menaikkan harga BBM (bersubsidi) adalah salah satu cara saja. Saya cerita latar belakangnya sedikit. Alasan utama kenapa BBM harus dinaikkan sebetulnya adalah persoalan keadilan subsidi. Karena kalau mau, penerimaan bisa dicari alternatifnya (untuk menutupi pembengkakan subsidi BBM). Misal, dengan semua dipajaki.
Jadi, saya melihat bahwa isunya pertama yakni struktur subsidinya harus dibetulkan. Saya tidak pernah menentang subsidi, tapi saya tidak setuju subsidi yang salah arah. Itu harus diubah, dari untuk menengah ke atas ke rakyat miskin.
Di sisi lain, kalau harga BBM tidak kita naikkan, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2013 bisa 3,8 persen dan subsidinya bisa Rp 297 triliun. Dengan kenaikan harga BBM ini, kita bisa bikin defisit menjadi 2,38 persen.
Tapi bagaimana kalau harga minyaknya naik atau volume konsumsinya naik? Penyesuaian harus dilakukan dan biaya politiknya selalu tinggi. Ini tidak gampang.
Soal subsidi BBM, ada beberapa variabel, yakni harga minyak, volume, dan nilai rupiah. Harga minyak di luar kontrol. Tetapi ada upaya pada volume ataupun stabilisasi rupiah.
Langkah lain?
Mesti ada skema yang tidak membuat subsidi rentan jebol. Skemanya sedang dibahas pemerintah bersama DPR (untuk APBN tahun 2014).
Harus ada pula program konversi dari BBM ke gas. Kita punya pengalaman konversi dari minyak ke gas. Jadi, pola yang sama harus dilakukan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebenarnya sudah mulai, tapi selisih harga premium dan gas harus jauh. Ini sisi permintaan.
Dari sisi penawaran. Sudah saatnya kita memberikan insentif kepada energi terbarukan. Skema fiskalnya sudah ada. Saya tidak perlu buat yang baru karena di dalam aturan tax holiday, salah satunya adalah energi terbarukan. Ini yang saya mau aktifkan kembali. Dan ini memungkinkan dengan harga BBM sudah Rp 6.500 per liter.
Jadi, antisipasi persoalan besarnya subsidi BBM adalah mulai dari skema harga subsidi, sisi permintaan dengan cara konversi, dan sisi penawaran melalui usaha mendorong berkembangnya energi terbarukan. Ini harus dibuat dalam sebuah paket. Tidak bisa parsial.
Soal penyerapan anggaran?
Proses penyerapan bisa dipercepat. Buktinya, pencairan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Apa yang kami lakukan? Kementerian mau bikin daftar isian pelaksana anggaran (DIPA). Dirjen Anggaran diminta menghubungi yang bertanggung jawab di Kemensos menanyakan dokumen yang dibutuhkan apa saja. Jadi, ketika dokumen masuk, cukup telaah 1-2 hari, uangnya bisa dicairkan.
Jadi kalau kita bicara penyerapan ada dua sisi. Satu sisi adalah pekerjaan rumah Kementerian Keuangan yang jangan-jangan memang sudah susah bagi orang untuk mencairkan uang. Susahnya adalah dokumen yang diajukan acap kali salah.
Cara paling gampang adalah undang rapat untuk dijelaskan dokumen yang perlu apa saja. Dengan begitu, misinterpretasi mengenai dokumen selesai. Dan ini bisa dilakukan dan terbukti di BLSM, serta gaji ke-13 PNS.
Dirjen Anggaran juga diminta agar prosedurnya dibuat simpel tanpa mengorbankan tata kelola yang baik. Caranya formulir yang segitu banyak diringkas.
Minggu lalu saya baru keluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang reward and penalty. Penalti berupa pemotongan anggaran pada tahun depan. Dengan demikian, diharapkan ada juga tekanan ke sana. (FX Laksana Agung Saputra/Pieter P Gero/Ninuk Mardiana Pambudy/Kompas Cetak/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News