Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Proses penyelesaian perkara kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terkait dengan kasus gugatan perdata kepada Sjamsul Nursalim, obligor penerima dana BLBI, masih saja macet.
Pasalnya, hingga kini pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) masih menunggu Surat Kuasa Khusus (SKK), yang menjadi dasar untuk mengajukan gugatan perdata kepada Sjamsul Nursalim dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Tanpa adanya SKK tersebut, kejaksaan tidak bisa menggugat Sjamsul, yang masih menunggak Rp 4,758 triliun.
Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Jaksa Agung Darmono di Kejaksaan Agung Jakarta Selatan pada Senin (14/3). "Kita masih menunggu dari Menkeu terkait penyelesaian kasus itu. Apakah akan dilimpahkan ke Kejaksaan dalam arti memberikan SKK ke Kejaksaan atau tidak," ujar Darmono di hadapan sejumlah media.
Lebih lanjut Darmono menyatakan masalah ini sepenuhnya merupakan ranah Kementerian Keuangan. Oleh sebab itu, pihaknya yang jika perkara ini dilanjutkan dan ditunjuk melalui SKK tersebut akan bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN), hanya bersifat menunggu.
Darmono juga menegaskan bahwa pihaknya sudah sering melakukan koordinasi dengan pihak Kementerian Keuangan. Namun, khusus koordinasi masalah dana BLBI ini, pihaknya baru akan mencoba melakukannya. Darmono menambahkan bahwa terkait dengan lambannya Kementerian Keuangan menurunkan SKK tersebut, pihaknya mengaku tidak memiliki kendala dan masalah. "Tidak ada masalah kok. Kita tidak butuh janji. Untuk apa janji-janji," ucap Darmono.
Sebagai catatan, tunggakan utang Sjamsul sendiri diketahui dalam sidang dugaan penyuapan jaksa yang dilakukan Artalyta Suryani, rekanan Sjamsul. Dalam sidang, Artalyta terbukti menyuap Ketua Tim Jaksa Penyidik BLBI Sjamsul, Urip Tri Gunawan, dengan uang US$ 660 ribu agar kasus BLBI Sjamsul tidak berlanjut. Dalam sidang, diketahui kalau Sjamsul masih berutang Rp 4,758 triliun, karena jumlah aset yang diserahkan Sjamsul, masih kurang dari jumlah Rp 28 triliun, dana BLBI yang diterima Sjamsul.
Kasus ini sendiri terjadi pada 1997, saat Bank Indonesia (BI) mengucurkan kredit kepada PT BDNI sebesar Rp 28 triliun. Pada 20 Agustus 1998, PT BDNI dinyatakan sebagai Bank Beku Operasi (BBO), berdasarkan Keputusan BPPN No.43/BPPN/1998 tentang Pembekuan PT BDNI dalam Rangka Program Penyehatan Perbankan Nasional, karena PT BDNI tidak dapat melakukan kewajibannya dalam pengembalian kredit. Berdasarkan hasil perhitungan ulang yang dilakukan oleh Ernst & Young terdapat kekurangan kewajiban pemegang saham senilai Rp 4,758 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News