kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.326.000 1,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menkeu: BCSA untuk mengantisipasi tapering off AS


Rabu, 02 Oktober 2013 / 19:58 WIB
Menkeu: BCSA untuk mengantisipasi tapering off AS
ILUSTRASI. Manfaat Infused Water untuk Kesehatan Jika Dikonsumsi Secara Rutin


Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Bank Indonesia dan  Bank Sentral China, The People's bank of China, telah menandatangani perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) senilai US$ 15 miliar.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, mengatakan, perjanjian tersebut telah ditandatangani oleh Gubernur BI Agus Martowardojo, dan Gubernur People's bank of China  ZHOU Xiaochuan pada hari Selasa (1/10) lalu di Jakarta.

Menurut Perry, penandatanganan perjanjian BCSA kali ini sifatnya perpanjangan atas perjanjian sebelumnya yang telah jatuh tempo tahun ini.

Perjanjian BCSA kali ini memiliki masa waktu selama tiga tahun dan dapat diperpanjang sesuai persetujuan kedua pihak.

Sebelumnya, BI juga sudah menandatangani perjanjian BCSA dengan Bank Sentral Jepang, senilai US$ 12 miliar. "Selain dengan China dan Jepang, kita juga terus menjajaki BCSA dengan negara lain," ujar Perry, Selasa (2/10) di gedung DPR.

Namun, Perry enggan menyebutkan negara mana saja yang sedang dijajaki. Ia hanya bilang, hal itu akan diumumkan apabila sudah ada penandatanganan perjanjiannya.

Perry menambahkan, perjanjian ini diharapkan bisa meningkatkan perdagangan dan investasi kedua negara. BI juga mengharapkan BCSA dapat membantu penyediaan likuiditas dalam jangka pendek, serta menjamin stabilitas pasar keuangan.

Selain itu, tekanan terhadap mata uang rupiah juga berkurang, karena permintaan terhadap mata uang dollar AS makin berkurang.

"Kita selalu fokus dalam menjaga kestabilan nilai tukar ini, bukan hanya dengan perjanjian BCSA tetapi juga dengan intervensi pasar," jelas Perry.

Mengantisipasi kebijakan AS

Menteri Keuangan Chatib Basri menjelaskan, keberadaan BCSA diperlukan sebagai second line of defense untuk mengantisipasi dampak kebijakan Amerika Serikat yang akan menghentikan kebijakan Quantitative Easing (QE) atau tapering off. Sebab, jika itu terjadi, maka akan banyak dana keluar (capital outflow) dari Indonesia.

Chatib optimistis, dana cadangan yang dimiliki Indonesia akan cukup menutupi dampak capital outflow.

Selain dengan China dan Jepang Indonesia juga sudah memiliki fasilitas dana siaga dalam bentuk Defered Drawdown Option (DDO) sebesar US$ 5 miliar.

Dengan begitu, total dana siaga yang sudah dimiliki saat ini mencapai US$ 32 miliar. "Mudah-mudahan kita bisa dapat di atas US$ 40 miliar," ujar Chatib.

Jadi, BI tidak perlu menggunakan cadangan devisa untuk menutupi bila terjadi capital outflow.

Selain itu, Chatib juga bilang saat ini Indonesia juga sedang menjajaki perjanjian dengan negara lain. Sedikit bocoran saja, kerja sama yang akan dibuat ini merupakan kemitraan baru, bukan perpanjangan seperti yang dilakukan dengan Jepang dan China.

Sementara itu, Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti menilai, keberadaan BCSA sangat penting untuk menjaga kepercayaan pasar terhadap ekonomi Indonesia.

Menurutnya, pasar akan melihat ada keseriusan dari Indonesia untuk memperkuat cadangan devisa. Sehingga investor akan tetap menyimpan dananya di Indonesia, tidak hawatir dengan kondisi ekonomi Indonesia di tengah ancaman global.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×