Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah membacakan tuntutannya terhadap para terdakwa kasus dugaan korupsi persetujuan ekspor (PE) minyak goreng.
Salah satu tuntutan yang mendapat sorotan adalah terkait membayar uang pengganti sebesar Rp 10,9 triliun dan tuntutan 12 tahun penjara terhadap Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor.
Praktisi Hukum Hotman Sitorus menilai tuntutan JPU membayar uang pengganti tidak mendasar karena tidak ada pertambahan kekayaan terdakwa atau perusahaan sebesar yang dituntut.
Baca Juga: Tanggapan Mantan Bos Wilmar di Tuntut Rp 10,9 triliun di Kasus Korpusi Minyak Goreng
Menurut Hotman, di dalam persidangan beberapa ahli meragukan adanya kerugian negara, dan JPU pun sulit membuktikan adanya kerugian negara. Sementara, tuntutan uang pengganti biasanya hanya untuk orang yang memperoleh kekayaan dari tindak pidana korupsi itu.
"Uang pengganti hanya bisa diterapkan bagi orang yang memperoleh pertambahan kekayaan dari tindak pidana korupsi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (28/12).
Hotman mengatakan, JPU menuntut sesuatu yang sebetulnya belum jelas dan tidak bisa dihitung.
Baca Juga: Penasehat Hukum Kekeuh Sebut Tidak ada Kerugian dalam Kasus Korupsi Izin Ekspor CPO
Pakar hukum dari Universitas Al Azhar Jakarta Sadino menambahkan bahwa istilah uang pengganti sangat berbeda dengan ganti rugi. Yang namanya uang pengganti harus berdasarkan perhitungan riil dan sesuai fakta.
Artinya yang diterima terdakwa dan keuntungan terdakwa. Jika terdakwa tidak dapat keuntungan dan tidak dapat BLT bagaimana suruh mengganti BLT ya.
Kalau melihat tuntutan kepada para terdakwa, kata Sadino, uang pengganti Rp 10 triliun itu tak berdasarkan pada fakta-fakta persidangan. Karena tak ada kerugian negara dan memperkaya diri atau perusahaan.