kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tanggapan Mantan Bos Wilmar di Tuntut Rp 10,9 triliun di Kasus Korpusi Minyak Goreng


Rabu, 28 Desember 2022 / 16:20 WIB
Tanggapan Mantan Bos Wilmar di Tuntut Rp 10,9 triliun di Kasus Korpusi Minyak Goreng
ILUSTRASI. Anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei (kiri) dan Komisaris PT. Wilmar Nabati Indonesia Master Palulian Tumanggor, Rabu (31/8/2022). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wsj.


Reporter: kompas.com | Editor: Syamsul Azhar

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor menjadi terdakwa dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) membantah pihaknya telah mengakibatkan minyak goreng langka di pasaran. 

Bantahan tersebut disampaikan Master dalam pleidoi yang dibaca pada Selasa (27/12/2022). Menurut dia, penyebab minyak goreng sempat langka di pasaran adalah karena diterbitkannya kebijakan kontrol harga (price control) melalui Harga Eceran Tertinggi (HET). 

Sebagaimana diketahui, kebijakan HET minyak goreng diatur Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit. 

Ia menilai Jaksa Penuntut Umum tidak jernih dan egois sehingga tidak melihat sumber kelangkaan itu. “Fakta penyebab terjadinya kelangkaan minyak goreng adalah kebijakan kontrol, price control policy yang tidak didukung dengan ekosistem yang baik, itulah yang menyebabkan kelangkaan," kata Master dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat. 

Baca Juga: Sidang Perkara Ekspor CPO, Indrasari Wisnu Wardhana Minta Dibebaskan dari Dakwaan

Master menuturkan, sebelum Kementerian Perdagangan menerbitkan ketentuan HET, minyak goreng masih bisa ditemukan di pasaran, meski dengan harga yang cukup tinggi. 

Adapun penyebab harga mahal itu, menurut dia, karena mengikuti harga minyak goreng di pasar dunia. Namun, setelah pemerintah menerbitkan kebijakan HET minyak nabati itu hilang dari pasar. 

“Setelah kebijakan HET dicabut, seketika itu produk minyak goreng kembali ada di pasaran," tutur Master. Selain itu, Master juga menyoroti tidak adanya lembaga yang mengontrol distribusi minyak goreng sebagaimana Pertamina yang memiliki wewenang atas bahan bakar minyak (BBM). 

"Negara tidak mengontrol minyak goreng dari hulu, tidak ada perusahaan milik negara yang memproduksi dan memastikan distribusi minyak goreng seperti Pertamina,” kata dia. 

Sementara itu, terdakwa lainnya, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) Kementerian Perdagangan, Indra Sari Wisnu Wardhana menyebut tuntutan Jaksa kabur. 

Dalam pleidoinya, ia menilai Jaksa menyembunyikan fakta persidangan demi kebenaran dakwaan mereka. Indra Sari meminta Jaksa tidak menyembunyikan fakta persidangan. Menurutnya, banyak fakta sidang itu tidak dimuat dalam tuntutan Jaksa. 

“Sebenarnya saya berharap jaksa penuntut umum membuat surat tuntutan yang sesuai fakta persidangan secara lengkap bukan dikaburkan atau disembunyikan,” ujar Indra Sari. 

Baca Juga: Korupsi Minyak Goreng Lin Che Wei Dituntut 8 Tahun, Lebih Berat dari Indra Sari Wisnu

Pertanyakan barang bukti yang tak disita 

Sementara itu, kuasa hukum Master, Juniver Girsang mempersoalkan tindakan Kejaksaan Agung yang tidak menyita barang bukti. 

Menurut dia, hal itu bisa meruntuhkan fakta yang selama ini terungkap. Barang bukti tersebut berupa lima kantong minyak goreng kemasan yang diduga berisi uang di rumah Indra Sari di Tangerang Selatan. 

Menurutnya, persoalan ini berawal dari rumah Dirjen Daglu itu. “Kelima kantong migor tersebut tidak pernah disita penyidik Kejagung, karena isinya memang minyak goreng," kata Juniver. 

Sebelumnya, Jaksa menuntut Majelis Hakim Tipikor menghukum Master 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. 

Bos perusahaan sawit itu juga dituntut membayar uang pengganti Rp 10,9 triliun. “(Menuntut Majelis Hakim Pengadilan Tipikor) menjatuhkan Pidana tambahan kepada terdakwa Dr. Master Parulian Tumanggor untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 10.980.601.063037,” kata Jaksa membacakan amar tuntutannya, Kamis (22/12/2022). 

Baca Juga: Penerbitan Persetujuan Ekspor Terkait Kasus Minyak Goreng Dinilai Sesuai Prosedur

Sementara itu, Indra Sari dituntut penjara selama 7 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Mereka dinilai terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama sehingga menimbulkan minyak goreng langka di pasaran. 

Jaksa menyebutkan bahwa tindakan Indra dan Master dilakukan bersama tim asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei. 

Kemudian, Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Stanley MA dan General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang. 

Dalam kasus ini, eks Dirjen Daglu Kemendag itu dinilai telah melakukan dugaan perbuatan melawan hukum dalam menerbitkan izin ekspor CPO atau minyak sawit mentah. 

Tindakan Wisnu memberikan persetujuan ekspor (PE) diduga telah memperkaya orang lain maupun korporasi. Menurut Jaksa, perbuatan itu dilakukan secara bersama-sama dengan empat terdakwa lainnya.  

Baca Juga: Korupsi Minyak Goreng Lin Che Wei Dituntut 8 Tahun, Lebih Berat dari Indra Sari Wisnu

Akibatnya, timbul kerugian sekitar Rp 18,3 triliun. Kerugian tersebut merupakan jumlah total dari kerugian negara sebesar Rp 6.047.645.700.000 dan kerugian ekonomi sebesar Rp 12.312053.298.925. 

“Merugikan keuangan negara sejumlah Rp 6.047.645.700.000 dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp 12.312.053.298.925,” kata Jaksa. 

Lebih lanjut, Jaksa menyebut, dari perhitungan kerugian negara sebesar Rp 6 triliun, negara menanggung beban kerugian Rp 2.952.526.912.294,45 atau Rp 2,9 triliun.  

Penyalahgunaan izin ekspor CPO Menurut Jaksa, kerugian keuangan negara itu merupakan dampak langsung dari penyalahgunaan fasilitas persetujuan ekspor (PE) produk CPO dan turunannya atas perusahaan yang berada di bawah naungan Grup Wilmar, Grup Permata Hijau, dan Grup Musim Mas. 

Wisnu dan empat tersangka lain didakwa memanipulasi pemenuhan persyaratan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).

DMO merupakan batas wajib pasok yang mengharuskan produsen minyak sawit memenuhi stok dalam negeri. 

Sementara itu, DPO merupakan harga penjualan minyak sawit dalam negeri. Akibat DMO tidak disalurkan, negara akhirnya mesti mengeluarkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk membantu beban masyarakat. 

Baca Juga: Keluarga Grup Musim Mas Anggarkan US$ 500 Juta, Ekspansi Bisnis Properti di Australia

“Kerugian keuangan negara tersebut mencakup beban yang terpaksa ditanggung pemerintah dalam penyaluran BLT tambahan khusus minyak goreng untuk meminimalisasi beban 20,5 juta rumah tangga tidak mampu akibat kelangkaan,” kata Jaksa.

Adapun sejumlah korporasi yang menerima kekayaan dalam akibat persetujuan ekspor CPO itu adalah Grup Wilmar sebanyak Rp 1.693.219.882.064, Grup Musim Mas Rp 626.630.516.604, dan Grup Permata Hijau Rp 124.418.318.216. 

Jaksa menyebut, Lin Che Wei, Stanley, Pierre, dan Master melanggar pasal yang sama. Mereka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dituntut Bayar Rp 10,9 T, Bos PT Wilmar Nabati Tuduh Pemerintah yang Sebabkan Minyak Langka", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2022/12/28/09553781/dituntut-bayar-rp-109-t-bos-pt-wilmar-nabati-tuduh-pemerintah-yang-sebabkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×