Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - BALI. Pemerintah bersiap menerapkan mandatori program biodiesel 40% atau B40 pada tahun 2025.
Hanya saja di tengah rencana B40, produksi sawit nasional justru stagnan bahkan cenderung menurun.
B40 adalah bahan bakar hasil campuran minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) 40% dan solar 60%. Artinya, pemanfaatan CPO untuk bauran biodiesel dipastikan melonjak, dari yang saat ini mencapai 35%.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyebutkan, produksi CPO nasional mencapai 34,7 juta ton per Agustus 2024. Angka ini turun sekitar 4,1% dari capaian tahun lalu yang mencapai 36,2 juta ton.
Baca Juga: Program Biodiesel Bisa Menggerus Ekspor CPO
Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia tengah menghadapi stagnansi produksi selama beberapa tahun terakhir. Penyebabnya, progres program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang lambat. Tak pelak, produksi CPO belum akan meningkat dalam waktu dekat.
"Meski faktor cuaca lebih mendukung pada tahun ini, peningkatan produksi (CPO) secara signifikan tidak diharapkan terjadi," kata Eddy pada pembukaan The 20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook atau IPOC 2024 di Nusa Dua, Bali, Kamis (7/11).
Wakil Menteri Pertanian Sudaryono mengakui jika rencana mandatori B40 hingga B50 tentu akan berimplikasi terhadap pasokan CPO. Atas dasar itu, permasalahan produktivitas CPO harus menjadi perhatian dari industri sawit. "Wajib meningkatkan produktivitas," tandasnya di kesempatan yang sama.
Sudaryono menegaskan, adanya kebijakan B40,B50, hingga B100 tak lain sebagai strategi kita dalam menghadapi tantangan global terhadap komoditas kelapa sawit yang sangat sangat strategis bagi perekonomian Indonesia.
Sebagai produsen sawit terbesar di dunia, Indonesia harus memiliki nilai tawar yang kuat lantaran posisi sawit masih sangat dibutuhkan dunia dan belum bisa digantikan oleh minyak nabati lainnya.
Untuk diketahui, implementasi European Union Deforestation Regulation (EUDR) menimbulkan sejumlah tantangan, yakni kudu memastikan transparansi rantai pasok komoditas dan akurasi dalam pengelolaan data.
Baca Juga: Mentan Targetkan Implementasi B50 di Tahun 2026
Sementara itu petani skala kecil menghadapi kesulitan memenuhi persyaratan ketat karena sumber daya yang terbatas, dan biaya kepatuhan juga terbatas sehingga memberatkan banyak pelaku usaha di dalam negeri.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia optimistis, program B40 akan dimulai pada 1 Januari 2025. Apalagi bahan bakar B40 telah tuntas uji coba.
Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru, Terbarukan, Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Edi Wibowo menyebutkan, implikasi pengurangan ekspor CPO harus diperhitungkan secara matang.
Pasalnya, pengurangan ekspor bakal berdampak pada berkurangnya penerimaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS). Terlebih dana pungutan ekspor kelapa sawit yang dikelola BPDPKS digunakan untuk mensubsidi selisih harga antara fatty acid methyl ester (FAME) sawit dengan harga solar.
Berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, masih ada kekurangan produksi FAME sebesar 300.000 kiloliter untuk memenuhi produksi B40 pada 2025.
"Itu yang juga perlu dipertimbangkan, efek domino, perlu dilihat secara komprehensif, terkait dengan insentifnya, kecukupan suplai bahan bakunya," ucap Edi.
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman menyatakan, untuk merealisasikan B40 pada tahun depan membutuhkan dana sekitar Rp 47 triliun. Proyeksi kebutuhan dana tersebut berdasarkan asumsi harga biodisel lebih tinggi ketimbang solar.
Baca Juga: Menteri ESDM Pastikan Stok CPO Aman untuk Program B40 sampai B60
"Penerapan B40 butuh 16 juta kiloliter biodiesel atau naik 2,6 juta kiloliter dari kebutuhan CPO untuk B35 yang membutuhkan biodiesel 13,4 juta kiloliter," ungkapnya.
Namun konsekuensinya biaya yang mesti disiapkan BPDPKS jadi lebih besar jika harga biodiesel lebih mahal dari solar. Kecuali, seperti pada tahun 2023 lalu yang mana harga solar lebih tinggi dari FAME."Itu berarti BPDPKS tidak akan menanggung, karena tidak ada selisih," ujarnya.
BPDPKS juga memperkirakan pada akhir tahun 2024 memiliki saldo sebesar Rp32 triliun, sedangkan pendapatan dari pungutan ekspor CPO pada tahun 2025 diproyeksikan mencapai Rp 21,5 triliun. Alhasil, jika diakumulasikan saldo yang dimiliki BPDPKS mencapai Rp 53,5 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News