kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Mengerem hasrat daerah


Jumat, 09 Mei 2014 / 16:10 WIB
Mengerem hasrat daerah
ILUSTRASI. Kurs Dollar-Rupiah di BCA Hari Ini Jumat 16 Desember 2022, Intip Sebelum Tukar Valas. KONTAN/Baihaki/19/8/2014


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan

JAKARTA. Mungkin tak banyak orang yang tahu bahwa setiap tanggal 25 April negara kita memperingati Hari Otonomi Daerah. Dan, kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas kepada provinsi, kabupaten, dan kota melahirkan daerah otonomi baru (DOB).

Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) mencatat, sejak tahun 1999 hingga 2013 lalu sudah lahir 220 DOB hasil pemekaran wilayah. Perinciannya, 8 provinsi, 178 kabupaten, serta 34 kota. “Indonesia merupakan negara dengan entitas pemerintah daerah yang sangat masif. Saat ini ada 539 daerah otonom, dengan 34 provinsi, 412 kabupaten, dan 93 kota,” kata Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri, dalam sambutannya di Hari Otonomi Daerah ke-18.

Lantaran DOB terus lahir tanpa terbendung, pemerintah berencana memperketat lagi syarat pemekaran wilayah. Dalam revisi Undang-Undang Nomor (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang secara resmi mulai digodok dengan DPR, Senin (12/5) besok, pembentukan daerah baru harus melalui tahapan daerah persiapan lebih dulu. Jadi, tidak ujug-ujug menjadi daerah otonom.

Kelak, daerah persiapan bersifat administratif dan dipimpin seorang kepala daerah yang berasal dari pegawai negeri sipil. Daerah persiapan cukup ditetapkan lewat peraturan pemerintah (PP), tidak perlu undang-undang.

Setelah terbentuk, pemerintah pusat akan melakukan pembinaan dan evaluasi terhadap daerah persiapan selama tiga tahun. Kalau hasil evaluasi menyatakan daerah itu layak, maka statusnya naik menjadi daerah otonom. Bila tidak layak, ya, statusnya sebagai daerah persiapan dicabut dan dikembalikan ke daerah induk. “Jangka waktu daerah persiapan tiga tahun dan bisa diperpanjang dua tahun,” kata Djohermansyah Djohan, Direktur Jenderal Otonomi Kemdagri.

Pemerintah perlu memperketat lagi syarat pemekaran karena hasil evaluasi rutin Kemdagri menunjukkan, kebanyakan DOB bermasalah. Yang paling mutakhir, hasil evaluasi yang mereka rilis akhir 2013 lalu terhadap 57 daerah yang terbentuk tahun 2007–2009. “Sebanyak 80% daerah otonom baru tidak mampu menyejahterakan rakyatnya,” tegas Djohan.

Hasil evaluasi Kemdagri sama dengan hasil penelitian sejumlah lembaga lainnya. Contoh, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan United Nations Development Program (UNDP). Hasil penelitian lembaga ini tahun 2008 terhadap enam provinsi dan 72 kabupaten/kota yang memisahkan diri dari daerah induk memperlihatkan kegagalan pemekaran wilayah.

Bisa dihapus

Dan, mulai bulan lalu pemerintah pusat kembali melakukan evaluasi terhadap seluruh DOB. Kalau yang sudah-sudah hasilnya sebatas memberi penilaian, maka dalam evaluasi kali ini lebih dari itu. Kalau evaluasi selama tiga tahun menunjukkan hasil yang jelek, pemerintah akan mengusulkan ke DPR agar DOB tersebut dikembalikan ke daerah induknya alias dihapus. Tapi, hasilnya baru kelihatan tahun 2017 mendatang.

Sejatinya, selama ini pemerintah tidak berdiam diri melihat DOB yang gagal. Lewat PP No 78/2007, pemerintah mencoba mengerem pemekaran wilayah dengan membuat persyaratan yang lebih ketat. Tapi, pemekaran tak terbendung.

Jurus pamungkas pun akhirnya pemerintah keluarkan tahun 2009 lalu: moratorium alias penghentian sementara pemekaran wilayah. Lagi-lagi, cara ini tidak ampuh menyetop keinginan daerah untuk membelah diri dari daerah induknya. Saat moratorium masih berlaku, 15 DOB lahir, salah satunya adalah Provinsi Kalimantan Utara yang terbentuk pada 17 November 2012 lalu.

Tidak berhenti sampai di situ. Meski moratorium masih berlaku, Oktober 2013 lalu, DPR sepakat untuk membahas 65 rancangan undang-undang (RUU) pembentukan DOB yang merupakan inisiatif mereka. Artinya, bakal ada 65 daerah baru, sebanyak delapan di antaranya adalah provinsi. Misalnya, Provinsi Pulau Sumbawa, Kepulauan Nias, dan Kapuas Raya.

Menurut Khatibul Umam Wiranu, Wakil Ketua Komisi Pemerintahan (II) DPR, dengan membentuk DOB, justru pelayanan pemerintah semakin dekat ke masyarakat dan infrastruktur pun semakin baik. Kalau ada aparaturnya yang korupsi, itu sifatnya personal bukan kesalahan DOB.

Selain itu, parlemen tidak bisa menolak aspirasi masyarakat yang memang diakomodasi oleh UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Justru DPR bisa dikatakan melanggar jika tidak menjalankan undang-undang. “Moratorium bukan undang-undang. Kalau usulan pemekaran, kan, memenuhi undang-undang, DPR tidak bisa menolak,” tegas Umam.

Tapi, Umam tidak mempersoalkan keinginan pemerintah yang memperketat syarat pembentukan daerah otonom. Sebaliknya, Miryam S. Haryani, anggota Komisi II DPR, menolak tegas status daerah persiapan sebelum menjadi daerah otonom. “Pemerintah seperti coba-coba,” ujar Miryam.

Meski begitu, Djohan menyatakan, posisi pemerintah tetap, yakni moratorium pemekaran wilayah. Tapi, pemerintah tak kuasa membendung langkah Senayan, tempat wakil rakyat berkantor. “Pemerintah hanya berharap usulan pemekaran DPR ditunda sampai pembahasan revisi UU Pemerintahan Daerah selesai,” pintanya.

Cuma, Khatibul menegaskan, pembahasan 65 RUU DOB tidak akan berhenti. Setelah masa reses berakhir Ahad (11/5), pembahasan calon beleid tersebut bakal bergulir lagi Senin (12/5). DPR tidak akan menunggu revisi UU Pemerintahan Daerah rampung dulu.

Agung Pambudi, Wakil Dewan Pengurus Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD), menilai, konsep pemekaran wilayah memang harus dikoreksi agar tidak bermasalah dan terus membebani anggaran pemerintah pusat. “Regulasi yang berlaku justru memberikan insentif kepada daerah sehingga pemekaran tak terbendung,” katanya.

Anggaran dari pusat sebagian besar habis untuk belanja rutin tapi produktivitasnya rendah. Alhasil, “Pertumbuhan ekonomi tidak naik, infrastruktur publik kurang, pelayanan buruk dan korupsi, serta realisasi investasi meleset,” beber Agung. Dari kajian KPPOD, sedikitnya 276 daerah terancam bangkrut karena 75% APBD dipakai untuk belanja atau gaji pegawai.

 Jadi, stop pemekaran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×