kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.134   66,00   0,41%
  • IDX 7.065   80,82   1,16%
  • KOMPAS100 1.056   15,21   1,46%
  • LQ45 830   12,54   1,53%
  • ISSI 214   2,04   0,96%
  • IDX30 423   6,62   1,59%
  • IDXHIDIV20 510   7,64   1,52%
  • IDX80 120   1,68   1,42%
  • IDXV30 125   0,50   0,40%
  • IDXQ30 141   1,98   1,43%

Mengapa Sektor Manufaktur Tak Masuk di Aturan Devisa Hasil Ekspor?


Sabtu, 15 Juli 2023 / 05:15 WIB
Mengapa Sektor Manufaktur Tak Masuk di Aturan Devisa Hasil Ekspor?


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah merilis beleid ketentuan devisa hasil ekspor (DHE) dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. Namun, sektor manufaktur tak masuk dalam pengaturan DHE ini.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023. Dalam PP tersebut, para eksportir diwajibkan menyimpan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) paling sedikit 30% dalam sistem keuangan Indonesia dengan jangka waktu minimal tiga bulan.

Ketentuan ini berlaku bagi hasil barang ekspor pada sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan. Aturan ini akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2023 mendatang.

Hanya saja, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mempertanyakan alasan pemerintah yang belum memasukkan sektor manufaktur dalam aturan tersebut.

Padahal, sebelumnya pemerintah menyampaikan akan memperluas sektor usaha yang memiliki kewajiban untuk menempatkan DHE di Indonesia.

Baca Juga: Eksportir Tak Simpan DHE SDA di Indonesia, Siap-siap Kena Sanksi Ini

Bhima menduga, hal ini dikarenan pemerintah masih ingin mencoba kebijakan DHE ini pada sektor SDA serta berkaitan juga dengan tekanan dari pengusaha sektor manufaktur bahwa kewajiban DHE akan mempengaruhi cash flow untuk pembelian bahan baku impor.

Untuk itu, dirinya menyarankan, idealnya sektor manufaktur berorientasi ekspor juga bisa dimasukkan dalam ketentuan DHE.

Ini berhubung kontribusi manufaktur yang mencapai 19% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan ketegorisasi pengolahan primer dimasukkan kedalam manufaktur sehingga kekhawatiran cakupan perusahaan SDA justru akan terbatas.

"Contohnya CPO itu kan olahan primer sekali, tapi dikategorikan manufaktur sehingga tidak masuk kewajiban DHE. Padahal potensi ekspornya besar mencapai US$ 35,2 miliar sepanjang 2022," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Jumat (14/7).

Senada, Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya juga mempertanyakan alasan sektor manufaktur tidak masuk dalam sektor yang diwajibkan memarkirkan DHE di dalam negeri. Padahal, sektor manufaktur sendiri mencakup 70% dari nilai ekspor Indonesia, sehingga memiliki potensi DHE yang lebih besar.

"Hal ini merupakan hal yang disayangkan, mengingat arah ekspor Indonesia yang sedang transisi dari ekspor berbasis komoditas menjadi ekspor berbasis nilai tambah dengan adanya hilirisasi industri," kata Banjaran.

Baca Juga: Menimbang Untung Rugi Terbitnya Aturan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (SDA)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×