kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.508.000   10.000   0,67%
  • USD/IDR 15.930   -61,00   -0,38%
  • IDX 7.141   -39,42   -0,55%
  • KOMPAS100 1.095   -7,91   -0,72%
  • LQ45 866   -8,90   -1,02%
  • ISSI 220   0,44   0,20%
  • IDX30 443   -4,74   -1,06%
  • IDXHIDIV20 534   -3,94   -0,73%
  • IDX80 126   -0,93   -0,74%
  • IDXV30 134   -0,98   -0,72%
  • IDXQ30 148   -1,09   -0,73%

Menakar Dampak Jika Pemerintah Bayar Bunga Utang Pakai Utang Lagi


Selasa, 23 Juli 2024 / 18:35 WIB
Menakar Dampak Jika Pemerintah Bayar Bunga Utang Pakai Utang Lagi
ILUSTRASI. Petugas menata tumpukan uang dolar AS di Cash Center Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (18/4). Pembayaran utang jatuh tempo pemerintah sebesar Rp 800 triliun di 2025 menjadi yang terbesar sepanjang sejarah.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pembayaran utang jatuh tempo pemerintah sebesar Rp 800 triliun di 2025  menjadi yang terbesar sepanjang sejarah. Utang tahun depan terhitung meningkat bila dibandingkan tahun ini yakni sebesar Rp 434,29 triliun.

Lantas, apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk membayar utang jatuh tempo tersebut?

Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai, untuk membayar utang jatuh tempo tersebut pemerintah bisa melakukan refinancing, yang mana investor melakukan penempatan kembali (reinvestment) pada SBN yang diterbitkan oleh pemerintah.

Baca Juga: Bersiap! Puncak Utang Jatuh Tempo Akan Menanti Pemerintahan Baru

“Namun jika ini dilakukan tentu akan berpengaruh ke ekonomi. Nah tergantung kondisi pasar. Kalau kondisi pasar lagi longgar, nggak ada masalah, jadi yield nya bisa murah. Tetapi kalau kondisi pasarnya nggak baik dan supply nya banyak, tapi demand nya kurang akhirnya yield nya kan naik. Kalau yield naik kita bayar bunga lebih tinggi,” tutur David kepada Kontan, Selasa (23/7).

Meski begitu, David menambahkan refinancing SBN untuk melunasi pembayaran utang jatuh tempo sebenarnya tak masalah jika pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nominal Indonesia tumbuh lebih tinggi bila dibandingkan pertumbuhan PDB bunga utang.

Namun Ia mencatat, sejak 2012 pertumbuhan PDB nominal rata-rata hanya 14,4% secara tahunan atau year on year (yoy), tetapi PDB bunga utang tumbuh rata-rata 14,4% yoy.

“Ini agak mengkhawatirkan kalau beban bunga tumbuh lebih cepat dari pada pertumbuhan PDB nominalnya,” kata David.

Baca Juga: Ekonom Ini Sebut Utang Pemerintah Dalam Kondisi Tidak Aman

Di sisi lain, Ia juga menilai pemerintah tidak bisa terus menerus mengandalkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk memenuhi kebutuhan anggaran. Sehingga mau tidak mau, pemerintah harus putar strategi untuk meningkatkan penerimaan negara. Misalnya dengan menggali potensi-potensi penerimaan yang saat ini belum tersentuh.

Menurutnya, pemerintah juga bisa mengandalkan sektor ekonomi digital, kripto dan fintech untuk mengerek penerimaan lebih banyak. Pasalnya sektor tersebut menyumbang cukup banyak penerimaan pajak sejak beberapa tahun lalu.

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital mencapai Rp 25,88 triliun hingga 30 Juni 2024. Sementara itu, pendapatan pajak dari bisnis fintech peer to peer (P2P) lending dan pajak kripto mencapai Rp 2,53 triliun hingga Maret 2024.

Baca Juga: Meracik Strategi Uang Pensiun untuk Investasi Saham

“Belum yang lainnya juga masih bisa digali, misalnya dari cukai. Selain itu pemerintah juga harus melihat di lapangan banyak perusahaan yang justru tidak semuanya bayar PPN,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×