Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investment Grade and Outlook Indonesia masih stagnan setahun terakhir, Standard and Poor’s (S&P) bahkan belum mengerek naik dan masih mempertahankan outlook ‘negatif’ dengan rating BBB 22 April lalu. Level ini belum berubah sejak 17 April 2020, saat S&P menurunkan outlook stabil menjadi negatif.
Sementara sejumlah lembaga pemeringkat lainnya juga masih mempertahankan rating dan outlooknya seperti tahun lalu. Misalnya Fitch dengan rating BBB dan outlook stabil, sementara Moodys pada level Ba2 juga dengan outlook stabil.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) David Sumual menilai jika dalam jangka menengah tidak ada revisi perbaikan, rating investasi dan outlook Indonesia bisa berpotensi untuk melorot.
Baca Juga: S&P pertahankan peringkat utang Indonesia pada BBB/outlook negatif
“Terutama dari S&P yang outlooknya negatif, jika tidak ada revisi maka dalam jangka menengah masih bisa turun. Sementara Fitch, dan Moody’s dengan outlook stabil masih cukup baik,” ungkap David dalam keterangannya, Selasa (27/4).
Alasannya di tengah ketidakpastian pandemi, banyak negara termasuk Indonesia juga masih akan memangkas target pertumbuhan ekonomi sekaligus memasang posisi konservatif dalam jangka menengah.
Ini yang kemudian dinilai bisa jadi penyebab potensi melorotnya rating. Sebab salah satu indikator penilaian rating terkait dengan prospek pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah.
Diterbitkannya UU Cipta Kerja dan sejumlah perangkat regulasi turunannya menurut S&P juga bisa menjadi peluang meningkatkan investasi asing guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022. David pun sepakat, bahwa seluruh instrumen untuk mendorong investasi memang perlu dioptimalkan pemerintah.
“Apalagi realisasi investasi kuartal I-2021 tercatat tumbuh baik, yang didominasi oleh PMA (penanaman modal asing), sementara investor dalam negeri justru terlihat masih wait and see. Ini harus dioptimalkan oleh pemerintah,” sambungnya.
Sebelumnya, BKPM mengumumkan realisasi investasi pada kuartal I-2021 mencapai Rp 219,7 triliun, tumbuh 4,3% (yoy). Dari nilai tersebut PMA mendominasi senilai Rp 111,7 triliun atau setara 50,8% dari total nilai, sementara PMDN senilai Rp 108,0 triliun. Secara tahunan PMA mencatat pertumbuhan 14,0% sementara PMDN tercatat negatif 4,2%.