Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah mengusulkan pengenaan pajak karbon kepada Panita Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) Komisi XI DPR.
Tujuannya adalah memperluas basis penerimaan pajak dan meminimalisasi efek lingkungan dari emisi karbon.
Dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), para anggota panja menolak usulan besaran tarif pajak karbon Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Fraksi Partai Gerindra meminta agar tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp 5 per kilogram CO2e atau satuan yang setara dan paling tinggi Rp 10 per kilogram CO2e.
Baca Juga: Pengusaha keramik menolak usulan tarif pajak karbon
Alasannya, penyesuaian tarif ini paling moderat mengingat Indonesia masih dalam proses pemulihan ekonomi. Makanya, Fraksi Partai Gerindra pun meminta agar implementasinya 5 tahun setelah RUU KUP diundangkan.
Sejalan, Fraksi Partai Nasdem meminta tarif pajak karbon sebesar Rp 5-Rp 10 per kilogram CO2e karena tarif tersebut harus menyesuaikan dengan tarif di negara lain yang lebih rendah dari usulan pemerintah.
Begitu juga Fraksi Partai Demokrat mengusulkan rentang tarif yang sama untuk mengurangi eksternalitas negatif atas dampak penerapan pajak karbon terhadap dunia usaha dan perekonomian.
Sementara itu, Fraksi Partai Golkar menolak usulan tarif dari pajak karbon, karena dinilai alasan pemerintah tidak mendasar.
Baca Juga: Pengusaha tetap tolak usulan tarif pajak karbon, ini alasannya
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pengenaan pajak karbon merupakan bagian strategi dari upaya Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca.
Sesuai Paris Agreement, Indonesia berkomitmen untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) 41% pada 2030 dalam penanganan perubahan iklim.
"Pajak karbon akan bersinergi dengan pasar karbon untuk memperkuat ketahanan perekonomian Indonesia dari risiko perubahan iklim," kata Menkeu.
Ketua Umum Asosiasi Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto tetap keberatan dengan pengenaan pajak karbon, meski tarifnya kelak lebih rendah. Sebab beleid ini langsung berdampak pada penurunan daya saing industri keramik di masa pandemi.
Selanjutnya: Golkar minta pembahasan RUU Ketentuan Umum Perpajakan tidak tergesa-gesa
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News