Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Permasalahan izin terkait bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan permasalahan administrasi yang termasuk ke dalam Undang-Undang (UU) Kehutanan.
Jika ada permasalahan Izin, hal itu bukanlah merupakan tindak pidana dan tidak masuk dalam ruang lingkup perkara tindak pidana korupsi.
Hal itu dikatakan pakar hukum Kehutanan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta Dr Sadino. Ia menyatakan, hal tersebut diatur dengan Perpu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UUCK) pada Pasal 110A.
Baca Juga: Pengusaha Sawit dan Tekstil Ikut Menyoal Perppu Cipta Kerja
Dimana kegiatan usaha di dalam kawasan hutan dan memiliki Perizinan Berusaha sebelum berlakunya UU ini dan belum memenuhi, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tiga tahun.
“Jika setelah lewat tiga tahun sejak berlakunya undang-undang ini tidak menyelesaikan maka akan dikenai sanksi administratif, berupa, penghentian sementara kegiatan usaha, denda administratif; dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha,” kata Sadino dalam keterangan tertulisnya, Senin (9/1).
Menurut Sadino, pelaku usaha pelaku usaha masih diberikan waktu selama tiga tahun sejak UUCK dan Perpu 2 diberikan waktu sampai 2 November 2023 dikeluarkan untuk menuntaskan administrasi pengurusan izin dan tidak ada merupakan Tindakan pidana dan tidak juga masuk dalam ruang lingkup perkara tindak pidana korupsi.
Baca Juga: UU KUHP Resmi Disahkan, 5 Pasal Ini Tidak Ada di Dalamnya
“Sehingga permasalahan izin yang menjerat beberapa perusahaan seharusnya dikenakan sanksi administratif bukan sanksi pidana,” karena izin adalah otoritas pemberi izin dan termasuk dalam tindakan administrasi, tegas Sadino.
Sadino menambahkan, baik Pasal 110A dan 110B UUCK menggunakan asas hukum ultimum remedium dan restoratif justice, dan mencakup kebun sawit di Kawasan hutan sebelum berlakunya UU CK serta mensyaratkan adanya izin lokasi dan/atau izin usaha perkebunan yang sesuai tata ruang, baik itu IUP untuk Korporasi, dan Surat Tanda Daftar-Budidaya (STD-B) untuk masyarakat maksimal 25 hektar.
Izin lokasi dan/atau IUP ini berbeda dengan hak atas tanah. Sehingga model penyelesaiannya memerlukan verifikasi teknis dengan menggunakan sebelum ditunjuk Kawasan hutan sesuai PP No. 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan setelah ditunjuk Kawasan hutan sesuai Pasal 25.