Reporter: Abdul Basith Bardan, Achmad Jatnika, Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli
Pasalnya, puncak kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) biasanya terjadi pada periode November-Februari. "Wisman pasti akan mengeluarkan dana yang lebih besar untuk karantina, sehingga cenderung melakukan pembatalan jadwal keberangkatan," sebutnya.
Dan, Bhima mengatakan, dengan situasi ketidakpastian yang masih tinggi, akan membuat pelaku usaha di bidang perhotelan, restoran, dan transportasi melakukan berbagai cara untuk mengefisiensikan biaya kembali.
Dalam pandangan Bhima, saat ini sektor pariwisata menyumbang 4,1% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Jelas, dengan perpanjangan masa karantina jadi 10 hari, PDB kita terancam turun signifikan.
Baca Juga: Wall Street ditutup lebih rendah di tengah kekhawatiran Omicron
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf menyebutkan, kebijakan baru tersebut bukan berita yang enak didengar bagi industri pariwisata yang sedang mencoba menggeliat.
"Tadinya akan memanfaatkan momen sebelum pembatasan kegiatan Natal dan Tahun Baru di akhir tahun," ungkapnya.
Hanya, menurut Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran, perpanjangan masa karantina jadi 10 hari tidak akan banyak berdampak bagi pariwisata. "Karena wismannya belum masuk juga," kata dia.
Maulana justru menyoroti kebijakan penghapusan cuti bersama Natal dan Tahun Baru. Kebijakan ini akan mengurangi potensi orang berlibur di akhir tahun, yang sudah barang tentu berdampak ke sektor pariwisata.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News