Reporter: Adinda Ade Mustami, Asep Munazat Zatnika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Tak lama lagi, tahun 2015 akan berakhir dan berganti dengan tahun baru 2016. Tahun depan, para pelaku pasar, pengusaha dan masyarakat masih perlu memiliki kewaspadaan yang besar, sama halnya di tahun 2015. Sebab situasi tahun 2016 masih menantang.
Selama tahun ini, tantangan ekonomi global dan Indonesia terbilang cukup berat. Pertama, rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) telah muncul sejak tahun 2013 membuat hampir seluruh mata uang negara-negara di dunia mengalami tekanan.
The Fed akhirnya benar-benar menaikkan suku bunganya sebesar 0,25%, pekan lalu (17/12), dari 0%-0,25% menjadi 0,25% -0,5%. Kenaikan suku bunga acuan AS ini merupakan tindakan pertama sejak krisis keuangan di AS tahun 2008.
Tantangan kedua ialah pelambatan harga komoditas dan ekonomi China yang telah berlangsung 2014 lalu. Pelemahan ekonomi China menyebabkan impor China terhadap komoditas Indonesia berkurang.
Apalagi China tengah mengubah paradigma dan struktural ekonominya, dari ekonomi berbasis pada investasi beralih ke konsumsi sebagai sumber pertumbuhan utama.
Dari kedua tantangan itu, menurut Deputi Fiskal dan Moneter Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Bobby Hamzah Rafinus, kebijakan ekonomi di China menjadi tantangan terbesar dan terberat bagi Indonesia di tahun depan.
Di sisi lain, kendati yuan telah masuk mata uang IMF, China berpeluang mendevaluasi lagi mata uangnya guna mendorong ekonomi dalam negeri. Kebijakan ini bisa menyebabkan harga produk China di luar negeri lebih murah dari produk negara lain sehingga bisa mendongkrak ekonomi China dari ekspor.
Selain itu, negeri Tiongkok itu bisa menyerbu negara-negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Akibatnya, impor Indonesia dari China membengkak. Efek lanjutannya, neraca perdagangan Indonesia-China tahun depan akan kembali defisit.
Penurunan harga komoditas ini juga disoroti oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Deputi Statistik bidang distribusi dan jasa pada Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo menilai, turunnya harga komoditas saat ini cukup berdampak pada ekspor nasional yang masih mengandalkan komoditas.
BPS memperkirakan kondisi ini masih akan berlanjut pada tahun depan. Menurut Sasmito, jika pemerintah tidak segera mengubah kebijakan industrinya maka ekspor Indonesia akan terus mengalami kontraksi pada tahun depan.
Sekadar catatan, pada November 2015, neraca perdagangan Indonesia pertama kali selama tahun 2015, mengalami defisit sebesar US$ 346,4 juta. Ini terjadi akibat penurunan ekspor yang lebih dalam sebesar 7,91%, sedangkan impor naik 3,61%.
Penurunan harga komoditas bisa mengerek harga atau inflasi tahun depan yang ditargetkan 4%. Menurut Sasmito, di atas kertas, target inflasi 2016 tersebut bisa tercapai, karena inflasi tahun 2015 sudah rendah di kisaran 3%-4%.
Jika tahun depan harga komoditas turun lebih dalam, tren harga komoditas ini akan memengaruhi harga jual produk yang berbasis komoditas di Tanah Air. Proyeksi inflasi itu belum memasukkan faktor harga yang diatur pemerintah dan kebijakan moneter Bank Indonesia.
Sebab, jika suku bunga The Fed terus naik pada tahun depan, BI kemungkinan juga menaikkan suku bunga BI. Alhasil, laju kenaikan harga sulit dikendalikan, sehingga inflasi melejit.
Target pertumbuhan
Adapun soal pertumbuhan ekonomi, BPS memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun depan sangat tergantung pada belanja modal pemerintah dan dorongan investasi. Sebab itu, baik buruknya ekonomi 2016 tergantung belanja pemerintah.
Jika strategi menggenjot belanja modal di awal tahun berjalan sesuai rencana, Sasmito memperkirakan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% di tahun 2016 akan tercapai.
Namun, ini tergantung seberapa besar risiko ekonomi global dan pasar keuangan global akibat kenaikan suku bunga The Fed, pelambatan ekonomi China dan devaluasi yuan.
Ekonom Bank Sentral Asia David Sumual berharap pemerintah serius menjalankan reformasi struktural. Presiden Joko Widodo harus memastikan paket deregulasi berjalan efektif, pembangunan kawasan industri terealisasi, dan hilirisasi industri tidak terkendala.
Tak kalah pentingnya, target perpajakan harus realistis dan dapat dicapai. Maklum, selain sebagai sumber utama penerimaan negara, target pajak yang terlalu muluk bisa-bisa membikin bulu kuduk berdiri.
Nah, dengan gambaran seperti di atas, rasanya kita masih harus ekstra waspada. Kencangkan sabuk pengaman karena tantangan berat masih mengadang. Plus bekerja lebih keras lagi karena ekonomi tahun depan masih belum seindah harapan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News