Reporter: Benedicta Prima | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan Indonesia bisa saja keluar dari Perjanjian Paris (Paris Agreement) apabila Uni Eropa tidak menanggapi keberatan pemerintah atas diskriminasi sawit dan produk turunannya.
"Kita akan pertimbangkan. Paris Agreement kenapa tidak, Amerika Serikat dan Brazil saja bisa," tegas Luhut dalam acara coffee morning bersama wartawan di kantornya, Senin (8/4).
Kendati demikian, opsi keluar dari Perjanjian Paris adalah pilihan terakhir. Untuk saat ini, pemerintah akan melayangkan keberatannya atas isi RED II melalui European Corp.
"Nah, kita lihat kalau masih berlanjut kita pergi ke European Corp, baru nanti ke World Trade Organisation (WTO). Karena WTO butuh beberapa tahun, European Corp lebih cepat," jelas Luhut.
Dia menambahkan keputusan ini perlu dilakukan sebagai langkah tegas menghadapi diskriminasi Uni Eropa. Apalagi ini terkait kepentingan nasional. Luhut menyebut sawit dan turunannya berkaitan langsung dengan kesejahteraan petani, serta defisit transaksi berjalan alias current account deficit (CAD).
Menanggapi pernyataan Luhut, ekonom Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah berpendapat jika Indonesia keluar dari Perjanjian Paris tidak akan terlalu berdampak banyak.
Sebab, ekspor minyak sawit alias CPO ke Eropa dalam beberapa waktu ini juga sudah sangat berkurang. "Yang perlu kita khawatirkan apabila keluarnya kita dari Paris Agreement dinilai negatif oleh pasar kita yang non Eropa," ujar Piter.
Kendati demikian, Piter menilai Indonesia perlu tegas dalam menghadapi negara maju seperti Eropa terkait masalah CPO. Pemerintah hanya perlu strategi matang untuk keluar dari Perjanjian Paris agar pasar non-Eropa tetap tenang.
Piter menilai posisi tawar Indonesia sangat kuat terkait CPO karena Indonesia adalah produsen terbesar CPO dan CPO adalag produk nabati paling efiian dibandingkan minyak nabati dari bunga matahari dan kedelai.
"kalau CPO kita ditolak yang akan menderita bukan hanya kita sebagai produsen tetapi juga penduduk dunia karena mendapatkan harga minyak nabati yang lebih mahal berikut produk turunannya," jelas Piter.
Adapun, Perjanjian Paris merupakan perjanjian negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkuat penanganan global terhadap ancaman perubahan iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan upaya pengentasan kemiskinan.
Poin penting dalam Perjanjian Paris ini adalah menahan laju kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celcius dan melanjutkan upaya membatasi kenaikan hingga 1,5 derajat celcius.
Berdasarkan data Our World, pada tahun 2016 Indonesia menyumbang 1,44% gas emisi, sedangkan Amerika Serikat (AS) mencapai 15,26%. Gas emisi terbesar berasal dari Tiongkok yang mencapai 29,16%. Sedangkan Prancis dan Italia masing-masing menyumbang 0,99% dan 1,03%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News