Reporter: Khomarul Hidayat | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - BANGKOK. Indonesia harus tetap dalam kesepakatan iklim Paris dan memimpin upaya untuk mengurangi pemanasan global berdasarkan perjanjian tersebut. Indonesia yang sedang berseteru dengan Uni Eropa soal sawit diminta jangan keluar dari perjanjian iklim Paris.
Pekan lalu, Indonesia yang merupakan negara produsen minyak nabati terbesar di dunia menyatakan akan mempertimbangkan keluar dari Perjanjian Paris 2015 tentang perubahan iklim jika Uni Eropa melanjutkan keputusannya menghapuskan minyak kelapa sawit dalam bahan bakar transportasi terbarukan.
Indonesia yang menjadi rumah bagi hutan tropis terbesar ketiga di dunia, menyerang Uni Eropa setelah blok tersebut mengklasifikasikan minyak sawit sebagai tanaman berisiko yang menyebabkan deforestasi dan memutuskan penggunaannya dalam biofuel harus dihentikan pada tahun 2030.
“Kami membutuhkan negara-negara seperti Indonesia dalam Perjanjian Paris, yang mengedepankan komitmen mereka dengan cukup serius,” kata Dechen Tsering, Direktur Asia-Pasifik untuk Badan Lingkungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bangkok seperti dikutip Reuters, Jumat (5/4).
Tsering mendesak dialog yang lebih besar dalam perselisihan dengan Uni Eropa soal minyak sawit itu. "Ini adalah harapan kami bahwa akan ada dialog dan komunikasi yang lebih baik, sehingga kedua belah pihak mengakui kendala dan masalah," katanya dalam wawancara dengan the Thomson Reuters Foundation.
Para pencinta lingkungan dan banyak konsumen menyalahkan sebagian besar hilangnya hutan Indonesia dan kebakaran yang menyebabkan asap pada pembukaan lahan untuk kelapa sawit, yang minyaknya digunakan dalam segala hal mulai dari margarin hingga biskuit, sabun hingga sup, dan biodiesel.
Pekan lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan mengatakan, jika Amerika Serikat (AS) dan Brasil dapat mempertimbangkan untuk meninggalkan kesepakatan iklim Paris, mengapa Indonesia juga tidak boleh melakukannya.
"Itu akan merusak Perjanjian Paris," kata Tsering dalam wawancara melalui telepon. "Meskipun Amerika Serikat sedang berupaya menarik diri dari Perjanjian Paris, Anda telah meminta negara bagian dan sektor swasta untuk mengambil komitmen yang sangat kuat."
Sebaliknya, di Indonesia, “Pemerintah pusatlah yang mengambil ambisi dan kepemimpinan, sehingga skenario yang berbeda,” tambahnya.
Di bawah kesepakatan Paris, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030, target yang bisa naik menjadi 41% dengan dukungan internasional.
Tsering mengatakan, Indonesia telah mencari keahlian eksternal untuk mengatasi kebakaran hutan dalam beberapa tahun terakhir, dan mendirikan lembaga global untuk melindungi lahan gambut.
"Sistem angkutan cepat massal (MRT) baru senilai US$ 3 miliar di Jakarta, juga merupakan bukti bahwa Indonesia menepati janji iklim internasionalnya dengan serius," kata Tsering.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News