Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi (SIGMA), Said Salahuddin menyatakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak punya sensitifitas. Di tengah polemik Pemilu, Bawaslu justru menghambur-hamburkan uang.
"Memalukan, disaat rakyat tengah gundah lantaran Pemilu terus bermasalah, Bawaslu malah membeli mobil mewah. Baru seumur jagung menjadi pejabat, mereka sudah berani menghamburkan uang rakyat miliaran rupiah agar terlihat gagah," kata Said di Jakarta, Kamis (7/11).
Said mengutuk keras pembelian 5 mobil mewah merek Camry kepada 5 anggota Bawaslu itu. Menurutnya, mereka tidak punya sensitifitas.
"Saya jadi berpikir, jangan-jangan benar kata orang bahwa motif mereka menjadi anggota Bawaslu sesungguhnya bukanlah untuk memperbaiki Pemilu. Visi dan misi untuk mewujudkan Pemilu yang berkualitas hanya omong kosong belaka," tuturnya.
Said mempertanyakan apa hebatnya Bawaslu hingga mereka merasa pantas untuk membeli mobil mahal nan berkelas? Padahal mobil dinas yang lama masih baik kondisinya karena disediakan anggaran perawatan.
"Saya masih ingat betul mobil dinas yang mereka gunakan sebelumnya adalah mobil warisan anggota Bawaslu periode pertama. Usia kendaraan itu baru sekitar 5 tahunan. Masih bisa diandalkan untuk mendukung mobilitas kerja anggota Bawaslu. Jadi ini betul-betul pemborosan yang nyata," cetusnya.
Lebih lanjut Said menjelaskan, lima anggota Bawaslu tersebut baru 1,5 tahun menjabat. Kinerjanya pun dinilai berantakan. Publik jengkel dengan mereka. Saking jengkelnya bahkan banyak yang menyuarakan agar lembaga itu dibubarkan saja.
"Kerjanya hanya mengeluh, meminta agar lembaganya diperkuat, kewenangan dan anggarannya ditambah. Tapi setelah semua itu berikan, apa hasilnya?" tanya Said.
Said menilai, peran pengawasan yang dilakukan Bawaslu mandul, fungsi penindakannya tumpul, menyelesaikan sengketa Pemilu amburadul. Menurutnya, setelah masuk zona nyaman (comfort zone), sepertinya anggota Bawaslu mulai kehilangan kendali.
"Mereka seperti dirasuki sindrom pejabat pengejar kemewahan. Alih-alih memikirkan cara memperbaiki kinerja lembaganya yang sering mendapat kecaman publik, mereka justru lebih mementingkan cara memuaskan gaya hidup mewah," tuturnya. (Tribunnews.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News