kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Tingginya golput dipicu perilaku buruk politikus


Senin, 28 Oktober 2013 / 13:24 WIB
Tingginya golput dipicu perilaku buruk politikus
ILUSTRASI. Tumis Daging Ala Mongolia (dok/The Recipe Critic)


Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Setiap penyelenggaraan pemilu, jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih atau golput semakin meningkat. Hal itu ditengarai dipicu perilaku buruk politikus yang menyebabkan kepercayaan publik merosot.

"Partisipasi publik menurun juga menjadi tanggung jawab partai politik (parpol). Publik dipertontonkan aktor politik tidak bisa diharapkan. Aktor politik mempertontonkan perilaku-perilaku yang kurang baik," ujar Direktur Komite Independen Pemantau Pemilih (KIPP) Jojo Rohi dalam diskusi bertajuk "Pelibatan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Pemilu 2014" di Hotel Akmani, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Senin (28/10).

Ia menilai, partisipasi publik yang tinggi dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu tentu didorong tingginya kepercayaan publik pada sistem politik dan perilaku aktor politiknya. Menurutnya, ketika aktor politik tidak dapat dipercaya, maka publik pun enggan menyalurkan suaranya. "Partisipasi didorong kepercayaan. Kalau tidak ada kepercayaan, orang tidak akan mau berpartisipasi," lanjut Jojo.

Ia menilai, ada ironi ketika masyarakat didorong menggunakan hak pilihnya, namun di sisi lain, pihaknya yang dipilih justru menggerus kepercayaan publik dengan perilaku korupnya. Maka, lanjutnya, peningkatan partisipasi publik dalam pemilu bukan hanya menjadi tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan masyarakat madani pemantau pemilu.

Menurut Jojo, partai politik (parpol) juga bertanggung jawab untuk mendorong partisipasi publik. Jojo mengatakan, kader parpol di pemerintahan dan parlemen harus menunjukkan perilaku politik yang baik. Dengan begitu, katanya otomatis, tingkat partisipasi publik akan meningkat. Dia menilai, penyelenggaraan pemilu saat ini hanya menjadi mekanisme legal mengganti satu maling harta negara kepada maling yang lain.

"Pemilu cuma mekanisme legal mengganti satu maling dengan maling lainnya. Aktor-aktor yg dihasilkan pemilu tidak mampu menjaga kepercayaan publik, " kata Jojo.

Pemilu pertama Indonesia di era reformasi, yaitu Pemilu 1999, angka partisipasi pemilih mencapai 92,74%. Angka itu menurun pada Pemilu 2004 menjadi 84,07%. Pada Pemilu 2009, partisipasi terus merosot menjadi hanya 71%.(Deytri Robekka Aritonan/Kompas.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×