Reporter: Andri Indradie, Francisca Bertha Vistika | Editor: Tri Adi
Pelemahan rupiah, tarif listrik, harga gas, hilangnya subsidi premium, serta kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, naga-naganya bakal menghambat jumlah mobil yang mengaspal. Orang akan berpikir dua kali membeli kendaraan, terutama mobil.
Dus, bisnis otomotif alias penjualan mobil tiga bulan pertama ini tak menggembirakan. “Orang lebih memilih membeli beras daripada mobil,” tutur Jongkie D. Sugiharto, Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo).
Sebenarnya, Gaikindo sudah memprediksi gelagat merosotnya penjualan sepanjang 2015 ini. Alasannya, lantaran harga bahan bakar minyak (BBM) naik, penguatan dollar AS, serta daya beli masyarakat melemah. Tiga pokok isu ini menciptakan situasi perekonomian yang kurang kondusif. “Kondisi ekonomi sekarang agak berat,” cetus Sudirman M. Rusdi, Ketua Umum Gaikindo (baca boks).
Data Gaikindo menyebut, periode tiga bulan pertama tahun lalu, total penjualan mobil masih 338.500 unit. Adapun, selama tiga bulan pertama tahun ini penjualan mobil hanya 282.569 unit atau turun 16,52% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (lihat tabel).
Dari penjualan selama tiga bulan pertama tersebut, merek Toyota masih memimpin dengan penjualan 85.762 unit atau sekitar 30,4%. Penjualan Daihatsu 45.317 unit dengan pangsa penjualan 16%, disusul merek Honda sebanyak 44.488 unit atau 15,7%. Selanjutnya, penjualan merek Suzuki sebanyak 35.087 unit atau 12,4% dan Mitsubishi 32.797 unit atau 11,6%.
Bertumpu pada ekspor dan mobil LCGC
Gara-gara kinerja dan situasi ekonomi, Gaikindo pun menurunkan ekspektasi penjualan mobil tahun ini dari target 1,2 jutaan menjadi 1,1 jutaan. Itu pun dengan catatan, kondisi rupiah bisa membaik sepanjang kuartal II. Sebab, jika pelemahan rupiah makin parah, ongkos produksi mobil bisa membengkak lantaran sebagian besar komponen mobil masih impor.
Sedangkan, di sisi penjualan, menaikkan harga mobil juga bukan solusi tepat. Maka, agen pemegang merek, kata Jongkie, banyak yang menghindari strategi mengerek harga mobil. Jika strategi itu dipilih, angka penjualan bakal makin runyam.
Jongkie menambahkan, penjualan otomotif selalu bertumpu pada tiga hal, yaitu pertumbuhan ekonomi, nilai tukar mata uang, dan daya beli masyarakat. “Kalau tiga itu lemah, asosiasi maupun agen pemegang merek tidak bisa apa-apa,” kata dia.
Kinerja PT Astra International Indonesia Tbk (Grup Astra) selama tiga bulan pertama bisa jadi buktinya. Laba bersih divisi bisnis otomotif perusahaan yang didirikan William Soeryadjaya ini anjlok 21% dari Rp 2,04 triliun menjadi Rp 1,61 triliun.
Presiden Direktur Grup Astra Prijono Sugiarto bilang, kinerja ini terjadi lantaran permintaan sedang melemah akibat ekonomi yang melambat. Kurang variasi produk baru dan persaingan marketing dengan jorjoran diskon juga jadi dua penyebab utama. “Diskon dipicu oleh kelebihan kapasitas produksi pabrik,” ujar Prijono, Senin (27/4).
Secara total, penjualan mobil Grup Astra sekitar 137.000 unit. Jumlah ini merosot sekitar 21% dari periode yang sama tahun lalu. Pangsa pasar mobil-mobil Grup Astra juga turun dari 53% menjadi 49% di pangsa pasar penjualan mobil nasional.
Yohannes Nangoi, Ketua II Gaikindo, berpendapat, kelesuan sektor otomotif yang tergantung pada nilai tukar, daya beli, dan pertumbuhan ekonomi ini sebenarnya bukan berarti tak ada solusi. Sebab, secara fundamental, kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya masih bagus. Sebut saja, cadangan devisa US$ 111,55 miliar, BI rate 7,5%, tingkat kredit bermasalah perbankan 2,40%, inflasi Maret 2015 6,38% serta target inflasi tahun ini 3%-5%.
Untuk mengurai persoalan ini, sebenarnya Gaikindo bisa menekan jumlah produksi kendaraan sembari menggenjot ekspor. Menurut prediksinya, tahun ini ekspor bisa tumbuh hingga 15%. Ekspor mobil selama ini bernilai sekitar US$ 158 juta ke 34 negara. Dari total ekspor, produk mobil terjangkau dan ramah lingkungan alias low cost green car (LCGC) tercatat masih yang terbesar.
Jika tak memperbesar ekspor, industri otomotif bisa kalang kabut. Sebab, penjualan agen pemegang merek seret sedangkan di sisi produksi, kapasitas terus bertambah. “Lagipula, untung agen pemegang merek lebih besar jika ekspor,” ujar Nangoi.
Berbeda dengan Gaikindo, Forst & Sullivan memprediksi, penjualan mobil tahun ini malah bisa tumbuh 5% menjadi 1,29 juta unit, dari angka tahun lalu 1,21 juta unit. Alasannya, menurut Wakil Presiden Divisi Otomotif dan Transportasi Forst & Sullivan Asia Pasifik Vivek Vaidya, ekonomi Indonesia tumbuh stabil di kisaran 5,5%.
Cuma, Viviek tak menampik, pelemahan nilai tukar rupiah akan membuat impor lebih mahal. Ujungnya, bisa jadi akan mendongkrak harga mobil. “Segmen LCGC yang paling menopang penjualan mobil tahun ini,” prediksi Vivek.
Sepeda motor ikut turun
Seperti dugaan pengamat otomotif Soehari Sargo, penurunan penjualan mobil memang belum tentu selalu diikuti penjualan sepeda motor. Namun, jika sudah menyangkut daya beli masyarakat yang melemah, penjualan sepeda motor niscaya mengikuti mobil. “Logika sederhana. Ngapain beli motor kalau kebutuhan pokok lebih penting,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Gunadi Sindhuwinata menyebut, faktor daya beli memang jadi pemicu utama penjualan sepeda motor merosot, tahun ini. Dibandingkan periode tahun lalu, kuartal I tahun ini, penjualan motor berkurang kira-kira 300.000 unit, dari sekitar 1,9 juta unit tinggal 1,6 jutaan unit.
Yang menarik, AISI masih tetap optimistis hingga akhir 2015, penjualan motor masih bisa tumbuh hingga sekitar 8 juta. Sepanjang tahun lalu, penjualan motor menyentuh angka 7.867.195 unit motor. Artinya, Gunadi memprediksi, penjualan motor tahun ini masih bisa bertambah sekitar 200.000 unit motor.
“Karena kuartal kedua dan ketiga akan membaik. Daya beli masyarakat juga akan naik lagi. Sekarang ini orang mementingkan kebutuhan pokok dulu yang harganya kebanyakan juga sudah naik,” tutur dia.
Laporan Utama
Mingguan KONTAN No. 32-XIX,2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News