Reporter: Bambang Rakhmanto | Editor: Edy Can
JAKARTA. Pemerintah mengakui percepatan laju inflasi telah mempengaruhi imbal hasil obligasi negara. Kendati demikian kenaikan imbal hasil ini masih dalam batas toleransi pemerintah yakni dibawah 7,5%.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo menjelaskan, pemicu kenaikan imbal hasil ini karena pelaku pasar khawatir dengan kenaikan harga minyak mentah. "Sehingga investor merasa instrumen mereka sudah tidak sesuai lagi dengan kriteria," katanya, Rabu (12/1).
Salah satu contoh adalah kenaikan imbal hasil surat utang negara seri FR0055. Berdasarkan data Indonesia Bond Pricing Agency, imbal hasil obligasi bertenor lima tahun ini naik dari 7,06% menjadi 7,25%.
Pemerintah sendiri sudah berancang-ancang untuk menghindari kenaikan imbal hasil obligasi negara itu. Salah satunya adalah dengan meredam inflasi. "Ini memang pekerjaan berat, tetapi kalau semua pihak sudah commit maka bisa dijalankan,” tandas Agus.
Pasar obligasi negara sendiri sempat dihantam aksi ambil untung dan menyebabkan imbal hasil naik. Pada awal tahun ini, terjadi aksi jual obligasi negara di pasar sekunder. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang mencatat kepemilikan obligasi negara oleh perbankan turun mdari Rp 217, 2 triliun menjadi Rp 216,87 triliun per 7 Januari lalu. Kemudian kepemilikan obligasi oleh pengelola reksadana juga berkurang dari Rp 51,16 triliun menjadi Rp 50,92 triliun.
Sedangkan kepemilikan oleh asuransi menurun dari Rp 79.3 triliun menjadi Rp 79,27 triliun. “Memang ada penurunan kepemilikan obligasi, tetapi jumlahnya relatif kecil. Menurut saya,ini hanya mencerminkan rebalancing,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto.
Selain percepatan laju inflasi, pasar juga menaruh perhatian terhadap sejumlah perkembangan eksternal. “Investor perhatian terhadap perkembangan di Eropa, di mana Portugal membutuhkan dana yang besar untuk bailout industri keuangan mereka. Lalu masalah perdagangan antara China dengan AS,” tambah Agus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News