Reporter: Teodosius Domina | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan lebih menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memproses kasus korupsi korporasi, terutama perusahaan yang sudah go public di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sebagai perusahaan terbuka, status hukum tersebut dapat mempengaruhi kondisi finansial perusahaan, sehingga dapat mengancam kepastian usaha dan nasib para karyawan.
"Penanganan kasus yang menyangkut korporasi harus berbeda dengan perorangan. KPK perlu lebih berhati-hati dalam memberikan informasi kepada publik sampai adanya kepastian hukum yang tetap," kata Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal, Indra Safitri, dalam permyataan yang diterima KONTAN, Rabu (23/8).
Indra mencontohkan. langkah KPK dengan mengumumkan PT Nusa Kontruksi Engineering Tbk (NKE) yang berkode saham DGIK sebagai tersangka korupsi korporasi. Akibat hal itu, perusahaan langsung mendapatkan sejumlah permasalahan. Mulai dari aktivitas sahamnya di pasar modal dihentikan sementara (suspend) oleh PT Bursa Efek Indonesia, sampai kesulitan mendapatkan pinjaman dari perbankan.
"KPK pun harus memiliki sistem pengungkapan korupsi yang baik, apakah benar perusahaan yang melakukan kesalahan atau justru kasus ini hanya dikarenakan perorangan. Ini nantinya juga akan menunjukkan apakah memang sistem dalam lelang itu yang memang bermasalah," tegas Indra.
NKE sendiri telah bersikap proaktif dengan menyerahkan uang sekitar Rp 15 miliar kepada KPK. Kasus hukum yang melibatkan NKE berhungan dengan proyek pembangunan rumah sakit Universitas Udayana Bali tahun 2009-2010.
Yudho Taruno Muryanto, Ahli Hukum Korporasi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, menyatakan sistem yang koruptif dinilai sebagai salah satu penyebab utama banyaknya perusahaan tersandung korupsi.
"Untuk mendapatkan proyek, pimpinan perusahaan atau proyek seringkali harus berkompromi dengan situasi ini. Kondisi inilah yang membuat banyak perusahaan tidak bisa menolak ketika diminta untuk memberi suap," tutur Yudho.
Sebelumnya dalam sidang tindak pidana korupsi (Tipikor) dengan tersangka Dudung, mantan Direktur Utama PT Duta Graha Indah (DGI), di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat (9/8), terungkap bahwa Muhammad Nazaruddin meminta uang komisi dari proyek yang diberikan ke DGI.
Dalam kesaksiannya, mantan direktur pemasaran PT Anak Negeri, Mindo Rosalina mengungkapkan, Nazaruddin meminta fee proyek pembangunan Rumah Sakit Khusus Universitas Udayana Bali sebesar 19% dari nilai proyek antara tahun 2009-2011 sebesar Rp 40 miliar.
Untuk mencegah terjadinya korupsi korporasi, aparat penegak hukum, termasuk KPK mesti mendorong fungsi pencegahan. Terutama berkaitan dengan proses pengadaan barang yang selama ini sering menjadi pintu masuk terjadinya praktik suap dan korupsi.
Menurut Yudo, fungsi pencegahan ini justru yang dibutuhkan saat ini. Sebab, kendati usia KPK telah lebih dari satu dasawarsa, namun praktik korupsi masih tetap menjamur. Karena itu dibutuhkan adanya perubahan sistem yang dapat mengikis perilaku koruptif tadi. Apabila sistemnya masih sama, maka perusahaan-perusahaan yang didesain untuk mengutip suap seperti milik Nazaruddin dan Andi Narogong, dalam kasus korupsi e KTP akan terus eksis.
“Yang penting diawasi itu adalah perusahaan yang didesain untuk korupsi. Karena sebaik apapun perusahaannya, akan sulit menghindari praktek korupsi jika sistemnya korup. Ini yang sebenarnya harus jadi fokus aparat penegak hukum,” tegas Yudo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News