Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Konsumsi rumah tangga di Indonesia masih menunjukkan pelemahan meski inflasi tercatat relatif rendah dan harga pangan menurun.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai, kondisi ini merupakan sinyal dari persoalan struktural yang belum terselesaikan dalam perekonomian nasional.
Mengutip Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) oleh Kementerian Perdagangan mencatat rata-rata harga pangan mengalami penurunan. Di antaranya, harga gula, minyak goreng curah dan minyakita, daging sapi, daging ayam ras, cabai merah keriting dan besar, serta bawang putih honan tercatat turun sepanjang Juni 2025.
Sementara itu, kondisi inflasi Juni 2025 tetap terjaga mencapai 0,19% month to month (mtm), dan sebesar 1,87% year on year (yoy).
Baca Juga: Konsumsi Masyarakat Masih Tertekan, Meski Inflasi dan Harga Pangan Turun
“Ini bukan soal masyarakat menahan konsumsi karena preferensi, tetapi karena realitas yang jauh lebih mendasar, daya beli mereka kian rapuh karena tekanan pendapatan yang stagnan,” ujar Rizal kepada Kontan, Senin (14/7).
Menurut Rizal, pelemahan daya beli diperkirakan masih akan berlangsung hingga kuartal III-2025. Tekanan dari sektor pangan dan energi, suku bunga Bank Indonesia yang masih tinggi, serta ketidakpastian global menjadi faktor utama.
Ia menyebutkan, pemulihan konsumsi baru bisa mulai terlihat di kuartal IV-2025 apabila ada stimulus fiskal tambahan, stabilisasi harga global, dan pelonggaran kebijakan moneter.
Rizal juga menyoroti kondisi masyarakat yang berada dalam ‘pemulihan semu’ meski kembali bekerja, banyak yang tidak mengalami perbaikan pendapatan secara riil. Akibatnya, penurunan harga tidak otomatis meningkatkan konsumsi.
“Maka, ketika harga-harga turun pun, tidak serta-merta mereka bisa membelanjakan lebih banyak, karena sesungguhnya yang tergerus adalah kapasitas riil untuk mengonsumsi,” jelasnya.
Baca Juga: Konsumsi Masyarakat Jadi Tantangan Pemerintah Dorong Pertumbuhan Ekonomi 6% pada 2026
Ia menekankan pentingnya pergeseran kebijakan fiskal dari bansos transaksional menuju program yang lebih produktif dan berkelanjutan, seperti perluasan padat karya, insentif usaha ultra-mikro, dan jaminan sosial ketenagakerjaan.
“Kalau fondasi pendapatan masyarakat tidak diperkuat, maka konsumsi hanya akan jadi variabel rapuh yang terus-menerus bergantung pada belanja negara. Ekonomi rakyat butuh daya topang baru dimana bukan sekadar subsidi tunai, tapi distribusi kesempatan dan produktivitas,” tandasnya.
Selanjutnya: KVB Lanjutkan Komitmen Literasi Finansial di Berbagai Kota
Menarik Dibaca: 7 Penyebab Kulit Wajah Kasar, Bukan Hanya Kulit Kering!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News