kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

10 tanggapan pemerintah atas sikap diskriminasi Uni Eropa terhadap sawit


Senin, 18 Maret 2019 / 19:38 WIB
10 tanggapan pemerintah atas sikap diskriminasi Uni Eropa terhadap sawit


Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah merespons langkah Uni Eropa yang dianggap diskriminatif terhadap komoditas sawit nasional. Respon tersebut sebagai upaya agar sawit mendapat perlakuan setara dengan minyak nabati lainnya di pasar komoditas Uni Eropa.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Senin (18/3) menggelar Rapat Koordinasi Pembahasan Tentang European Union’s Delegated Regulation.

Turut hadir dalam rapat ini Staf Khusus Kementerian Luar Negeri Peter F. Gontha, Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Imam Pambagyo, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, dan Wakil Ketua III Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Togar Sanggani.

Dalam rapat tersebut, pemerintah memutuskan 10 poin yang menjadi tanggapan terhadap draft Delegated Regulation yang mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai komoditas yang tidak berkelanjutan berisiko tinggi. Adapun, isi pernyataan tersebut sebagai berikut:

1. Pemerintah menolak dengan tegas keputusan Komisi Eropa yang mengadopsi Draft Delegated Regulation. Draf tersebut mengklasifikasi minyak sawit sebagai minyak nabati yang berisiko tinggi (high-risk ILUC) dan tidak berkelanjutan. Dengan ini, Komisi Eropa mengonfirmasi intensi Draft Delegated Regulation bukanlah mempromosikan keberlanjutan di sektor minyak nabati, tetapi untuk mengenakan larangan impor minyak sawit terhadap sektor biofuel dalam rangka melindungi dan mempromosikan minyak nabati di dalam negeri Uni Eropa sendiri.

2. Tanggapan institusi Uni Eropa dan pihak terkait yang menyatakan regulasi ini harusnya melarang total minyak sawit sangat disesalkan. Kebijakan Uni Eropa mestinya tidak dimotivasi oleh kepentingan politis, tetapi bekerja sama dengan produsen minyak sawit untuk mencapai UN Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.

3. Pengucilan minyak sawit dalam Draft Delegated Regulation sebenarnya akan merusak keberlanjutan di sektor minyak nabati. Dalam hal ini, telah diketahui bahwa produktivitas minyak kelapa sawit pada 3,8 MT / ha / tahun dibandingkan dengan 0,6 MT untuk minyak rapeseed dan 0,5 MT untuk minyak kedelai adalah kunci untuk melindungi lahan minyak nabati dunia di tengah permintaan yang terus meningkat. Dalam konteks ini, pendekatan UE dalam menyikapi keberlanjutan pada minyak nabati tidak cermat, patut disesalkan dan tidak dapat diterima.

4. Perbandingan produktivitas tidak berarti bahwa Indonesia bersedia mengorbankan tanah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi karena kurangnya produktivitas di tempat lain. Sebaliknya, pemerintah kita telah menerapkan moratorium pembukaan hutan untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit baru sementara beberapa inisiatif sedang dilakukan untuk meningkatkan tingkat produktivitas lebih lanjut untuk memasukkan penanaman kembali pohon kelapa sawit dengan hasil tinggi pada lahan yang ada yang dimiliki oleh petani kecil.

5. Produktivitas Minyak Kelapa Sawit dinaikkan oleh sejumlah pihak sebagai tanggapan terhadap Draft Delegated Regulation: “Kurangnya penilaian dampak, termasuk setiap pemeriksaan penggunaan lahan atau dampak GRK yang memungkinkan tanaman minyak nabati lainnya sementara menghapus minyak kelapa sawit, yang 4 hingga 10 kali lebih produktif, tidak dapat diterima”.

6. Penting juga untuk mengingat kembali kontribusi signifikan yang dimainkan minyak kelapa sawit dalam memenuhi aspirasi sosial dan ekonomi Indonesia dan dalam mengentaskan kemiskinan dengan mempekerjakan 17 juta pekerja yang mencakup lebih dari 4 juta petani. Meskipun Komisi Uni Eropa dan negara-negara anggota berkomitmen untuk mencapai SDG, kemajuan sosial dan ekonomi pada minyak sawit jelas tidak penting atau bernilai bagi UE.

7. Sementara Pemerintah Indonesia akan berupaya mendorong dan mengintensifkan dialog melalui mempromosikan platform SDGs dan menyambut masukan dari semua pihak dengan kepedulian lingkungan yang tulus, Indonesia akan menentang langkah-langkah diskriminatif UE dalam WTO. Sementara UE seolah-olah mempromosikan sistem perdagangan berbasis peraturan multilateral, standar ganda pada minyak sawit jelas dan jahat yang mana membuat Indonesia tidak memiliki pilihan selain mengambil langkah-langkah balasan, yang tidak akan mengecualikan litigasi.

8. Presiden Indonesia telah menyatakan keprihatinannya terhadap hubungan perdagangan dan investasi yang lebih luas dengan UE jika diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit dikonfirmasi. Kemitraan Strategis antara ASEAN-UE sedang ditahan dan Indonesia sedang memeriksa hubungan bilateral dengan Negara-negara Anggota yang telah paling mendukung tindakan diskriminatif yang diusulkan oleh Komisi.

9. Indonesia akan terus bekerja sama secara erat dengan negara-negara penghasil minyak kelapa sawit di dalam CPOPC, serta kerangka kerja ASEAN, tidak hanya untuk mempromosikan produksi keberlanjutan tetapi juga untuk mendorong front bersama melawan tindakan diskriminatif UE.

10. Kelompok Kerja untuk Minyak Nabati dalam Kerangka Kerja ASEAN-UE dan Indonesia akan bersikeras bahwa diskusi difokuskan pada pencapaian SDGs terutama pada pengentasan kemiskinan yang merupakan tujuan nomor satu dari Agenda PBB untuk tahun 2030 yang didukung oleh respon lingkungan yang kuat, di mana ILUC justru tidak berperan dan tidak relevan untuk mencapai tujuan global asli.

Sebelumnya, Menteri Industri Primer Malaysia Teresa Kok juga telah memberikan keterangan resmi terkait tanggapan terhadap diskriminasi UE ini.

“Saya menentang sepenuhnya keputusan yang diambil oleh Komisi Eropa dimana minyak kelapa sawit diklasifikasikan sebagai komoditas berisiko tinggi. Negara-negara penghasil minyak kelapa sawit, termasuk Malaysia, telah secara konsisten menjelaskan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa Delegated Act tersebut didasarkan pada faktor-faktor yang tidak akurat dan diskriminatif,” ungkap Teresa dalam keterangan resmi,
Jumat (15/3) lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×