kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Komisi I DPR Susun Draf Revisi UU Penyiaran


Selasa, 07 Maret 2023 / 18:46 WIB
Komisi I DPR Susun Draf Revisi UU Penyiaran
ILUSTRASI. Suasana rapat Paripurna DPR


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. DPR RI menetapkan 39 Rancangan Undang-Undang (RUU) masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2023.

Salah satu RUU yang masuk prolegnas adalah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, Komisi I DPR sedang membahas draf RUU penyiaran. Revisi yang sudah diproses sejak periode yang lalu sampai periode sebelumnya belum juga selesai. Namun, pada periode ini, Komisi I DPR berencana agar penyusunan draf bisa selesai.

Abdul menjelaskan, perkembangan per hari ini, yakni sudah sampai persiapan akhir Draf RUU penyiaran yang ada di Komisi I DPR. Jika draf sudah selesai, Komisi I DPR akan menyampaikan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Baca Juga: Ini Rincian RUU Prolegnas Prioritas yang Dibahas Tahun 2023

Setelah rapat pengambilan keputusan di Baleg DPR, revisi UU Penyiaran akan masuk ke rapat paripurna untuk ditetapkan menjadi usul inisiatif DPR.

Setelah rapat paripurna, baru akan dikirim ke pemerintah untuk dibahas bersama dengan pemerintah.

"Proses di komisi I hampir selesai untuk Draf RUUnya. Mudah mudahan dalam masa sidang besok ini Draf RUU penyiaran sudah akan selesai," ujar Abdul dalam Forum Legislasi di Kompleks Parlemen, Selasa (7/3).

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Irsal Ambia mengatakan, ada sejumlah poin yang perlu masuk dalam revisi UU Penyiaran. Revisi UU Penyiaran harus mendorong demokratisasi penyiaran di Indonesia menjadi lebih baik.

Kemudian, revisi UU Penyiaran perlu memuat penguatan kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia. Hal ini karena KPI sebagai regulator penyiaran. Akan tetapi selama ini fungsi KPI belum optimal karena kewenangannya hanya terbatas pada konten siaran.

Irsal menyebut, semestinya kewenangan pengaturan secara holistik. Artinya, hal-hal yang diluar konten, seperti registrasi perizinan, dan sebagainya secara menyeluruh ada di sebuah badan. "Intinya penguatan KPI baik strukturnya, KPI daerah dan lain sebagainya," ucap Irsal.

Kemudian, mengenai model dan sistem penyelenggaraan penyiaran. Saat ini teknologi berkembang pesat. Sebab itu, model dan sistem penyelenggaraan penyiaran tidak hanya konvensional, tetapi juga termasuk model penyelenggaraan berbasis internet.

Baca Juga: Sosialisasikan ASO, Kemkominfo dan DPR Optimistis Penyiaran Indonesia Lebih Baik

KPI mendorong agar paradigma penyiaran di revisi UU Penyiaran bisa lebih progresif. "Artinya juga mendorong agar media baru bisa diatur sedemikian rupa di (revisi) UU," kata Irsal.

Lalu, terkait dengan rating. Irsal menyebut, kualitas penyiaran saat ini dinilai dari rating siaran. Semestinya rating bisa sedemikian rupa dibuat sehingga lebih fair dan lebih bisa menggambarkan kondisi penonton di Indonesia secara keseluruhan. Serta bisa menumbuhkan industri penyiaran jauh lebih sehat.

Berikutnya, mengenai jurnalisme politik. KPI menilai hal tersebut juga perlu diatur agar membuat ruang publik penyiaran bisa lebih aman dari pengaruh kepentingan politik.

Irsal mengatakan, KPI pada prinsipnya mendorong edukasi politik bagi publik. Edukasi politik yang dimaksud tidak mengarah kepada kepentingan politik tertentu. Akan tetapi kepentingan politik kebangsaan Indonesia yang lebih besar.

Sehingga meminimalkan ruang bagi orang tertentu, bagi pengusaha tertentu dalam memanfaatkan TV, radio untuk kepentingan politiknya saja.

"Kita pernah diajak diskusi (memberikan masukan revisi UU Penyiaran) oleh tim penyusun di Komisi I DPR," ucap Irsal.

Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah meminta pembahasan revisi UU Penyiaran melibatkan partisipasi publik. Serta memperhatikan masukan partisipasi publik.

Hal itu agar pembentukan UU tidak cacat formil atau sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan.

"Bagaimana kemudian publik dirangkul sebanyak mungkin, jangan dikebut (pembahasan UU nya)," ucap Trubus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×