CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.482.000   -35.000   -2,31%
  • USD/IDR 15.800   -121,00   -0,77%
  • IDX 7.322   55,53   0,76%
  • KOMPAS100 1.120   5,81   0,52%
  • LQ45 885   5,41   0,62%
  • ISSI 222   1,93   0,88%
  • IDX30 453   1,57   0,35%
  • IDXHIDIV20 545   1,27   0,23%
  • IDX80 128   0,70   0,54%
  • IDXV30 137   1,60   1,18%
  • IDXQ30 151   0,42   0,28%

Ketidakpastian Global Menghantui, Prospek Ekonomi Indonesia Masih Positif


Jumat, 09 Desember 2022 / 14:45 WIB
Ketidakpastian Global Menghantui, Prospek Ekonomi Indonesia Masih Positif
ILUSTRASI. Di tengah kondisi ketidakpastian global, perekonomian Indoensia justru mampu menunjukkan resiliensi.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memasuki kuartal terakhir tahun 2022, perekonomian global masih terus menghadapi hantaman perlambatan pertumbuhan ekonomi yang juga merupakan bagian dari efek lanjutan downside risks dari pandemi Covid-19 yang hingga saat ini belum usai sepenuhnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kemampuan perekonomian global untuk mampu pulih saat ini nyatanya dihadapi dengan berbagai tantangan, mulai dari lonjakan inflasi yang tinggi, pengetatan likuiditas dan suku bunga yang tinggi.

Selain itu, ancaman stagflasi, gejolak politik, perubahan iklim dan krisis energi, pangan, serta finansial turut menghantui pemulihan ekonomi global. Ketidakpastian yang tinggi akibat dari kondisi ini juga telaha menempatkan perekonomian glonal berada dalam pusaran badai yang sempurna (perfet storm), sehingga mengakibatkan munculnya ancaman resesi global di tahun depan.

"Pandemi covid-19 menunjukkan kepada kita bahwa global solidarity bukan hanya jargon. Tidak ada yang benar-benar aman, sampai seluruh dunia aman," ujar Airlangga dalam keterangan resminya, Jumat (9/12).

Baca Juga: Pemerintah Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 5,3% pada 2023

Mencermati tingginya ketidakpastian perekonomian global tersebut, perekonomian nasional patut untuk memiliki kewaspadaan tinggi dan bersiap menghadapi stagflasi global. Tekanan capital outflow, depresiasi nilai Rupiah, serta penurunan ekspor dan kinerja manufaktur yang berpotensi meningkatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi dampak risiko eksternal yang harus mendapatkan perhatian lebih untuk diantisipasi.

Namun, Airlangga mengungkapkan, di tengah kondisi ketidakpastian global, perekonomian Indoensia justru mampu menunjukkan resiliensi dengan capaian impresif di berbagai leading indicator.

Capaian menggembirakan tersebut tidak terlepas dari serangkaian kebijakan extraordinary measures dengan konsep people first policy yang diambil oleh Pemerintah dalam Program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional selama ini.

“Mereka, negara-negara besar, sudah melihat bahwa ekonomi terbesar di dunia ini yang masih positif atau istilah dari Kristalina itu adalah the bright spot in dark adalah Indonesia dan ASEAN. Dengan demikian, alternatif investasinya, melihat Indonesia stabil secara politik dan ini stabil untuk regulasi, rule of law dari investment. Jadi ini kesempatan bagi Indonesia berada di dalam panggung dunia,” katanya.

Seiring terkendalinya kasus Covid-19, perekonomian nasional untuk tahun 2022 mampu mencatatkan kinerja solid dengan pertumbuhan di atas 5% (yoy) hingga kuartal III-2022 atau menyentuh angka 5,72% .

Prospek positif tersebut diperkirakan masih akan terus berlanjut pada tahun 2023, dimana ekonomi nasional diproyeksikan akan tumbuh sebesar 5,3% (yoy) dan sejalan dengan skenario sejumlah lembaga internasional yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 berada pada kisaran 4,7%-5,1%.

Kondisi inflasi nasional yang sempat dipicu oleh kenaikan harga BBM di bulan September lalu dan melaju hingga sebesar 5,71% pada bulan Oktober, relatif telah terkendali dan turun menjadi 5,42% di bulan November meskipun masih di atas sasaran sebesar 3,0±1%.

Tingkat inflasi Indonesia juga terhitung lebih baik dari banyak negara lainnya seperti Argentina (88%), Turki (85,5%), United Kingdom (11,1%), dan Uni Eropa (10%).

“Artinya dengan tantangan yang sama, Indonesia bisa mengelola lebih baik angka-angka tersebut, walaupun di Indonesia kenaikan harga energi “dibeli” oleh Pemerintah. Yang di past through ke publik itu terbatas,” imbuh Airlangga.

Baca Juga: Perlambatan Ekonomi China Bakal Menyakiti Asia, Bagaimana dengan Indonesia?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×