Reporter: Rashif Usman | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rasio pajak daerah atau local tax ratio secara nasional baru menyentuh angka 1,3% pada 2022. Angka tersebut masih perlu dioptimalkan atau setidaknya berada di angka 3%, sesuai dengan amanah Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengimbau agar Pemerintah Daerah (Pemda) untuk kreatif dan konsisten dalam mendorong rasio pajak daerah. Untuk itu, kerja sama dengan unit vertikal sangat penting dilakukan.
Selain itu, pemutakhiran data dan modernisasi teknik pengumpulan data pajak daerah perlu dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga dan instansi lain seperti Polda, Kementerian ATR & BPN, KPK, BPK, dan lainnya.
Baca Juga: Masih Rendah, Bappenas Sebut Rasio Pajak Daerah Hanya 0,51%
Kemudian, diperlukan kemudahan sistem administrasi melalui pembayaran pajak dengan fitur perbankan dan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) lainnya.
"Terakhir efektivitas dan efisiensi proses pengawasan dan penegakan hukum PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah), bekerja sama dengan institusi penegak hukum," ujar Fajry kepada Kontan, Selasa (7/5).
Lebih lanjut, Fajry menjelaskan rendahnya rasio pajak daerah dikarenakan oleh basis pajak dari instrumen pajak daerah yang terbatas. Sebab, sebagian besar basis pajak daerah sudah dikenakan pajak pusat.
Menurutnya, pajak daerah hanya dikenakan atas objek tertentu seperti kendaraan bermotor, hiburan, restoran dan sebagainya yang membuat basis pajak daerah sempit. Berbeda dengan pajak pusat yang basisnya luas seperti penjualan.
Baca Juga: Wah, Tahun Depan Rasio Utang Indonesia Diprediksi Naik Jadi 40%
Di sisi lain, hanya ada sedikit ruang untuk menambah basis pajak atau jenis pajak baru. Sehingga, kalau dipaksakan untuk ditambahkan bisa berakibat beban pajak yang terlalu tinggi. "Ini tidak baik untuk iklim usaha di Indonesia," terangnya.
Kendati demikian, Ia menerangkan memang ada sejumlah potensi pajak daerah yang belum tergali seperti masih banyaknya rumah makan yang belum terjamah pajak daerah dan potensi pajak dari retribusi parkir.
Sedangkan sistem administrasi melalui digitalisasi juga lumrah di pelosok sekalipun, hanya saja tinggal Sumber Daya Manusia (SDM) yang melakukan monitoring.
"Terakhir, soal penegakan hukum butuh komitmen tinggi untuk menciptakan sistem administrasi guna meminimalisir celah fraud ataupun penindakan terhadap yang tidak patuh," ujarnya.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan ada dua faktor yang memengaruhi rasio pajak daerah.
Pertama, kemampuan pemerintah daerah mengumpulkan pajak. Kedua, dipengaruhi oleh Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).
"Rasio pajak rendah karena pertumbuhan penerimaan pajak lebih lambat dari pertumbuhan PDRB," kata Prianto kepada Kontan (7/5) malam.
Untuk mendorong rasio pajak daerah, pemerintah perlu mengoptimalkan penggunaan teknologi, seperti penggunaan tapping box di gerai-gerai yang menjadi tempat pembayaran pajak konsumsi, seperti hotel dan restoran.
Baca Juga: Menko Airlangga Buka Suara Soal Penerapan Pajak Karbon hingga Tarif PPN 12%
"Contoh lainnya adalah peningkatan kerja sama dengan komunitas kendaraan bermotor seperti super car atau motor gede (moge)," tutupnya.
Selain itu, local tax ratio akan terkerek jika ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak daerah terus dilakukan dan tingkat pertumbuhannya harus lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News