Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah mencatat defisit hingga US$ 1,63 miliar pada April 2018, neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2018 diperkirakan kembali defisit. Defisit terjadi karena momentum Ramadan yang dimulai pada pertengahan Mei 2018 telah mendorong impor, khususnya barang konsumsi dan barang modal. Di sisi lain, laju ekspor masih dalam tren pelambatan.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo memperkirakan, tekanan impor pada Mei 2018 masih besar. Hal itu terutama berasal dari impor barang modal dan impor barang konsumsi. "Impor barang modal terkait investasi infrastruktur dan impor barang konsumsi terkait konsumsi masyarakat di hari raya Lebaran," terang Dody saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (11/6).
Namun Dody masih belum mau menjelaskan, berapa besar perkiraan tekanan impor dan nilainya. Ia juga belum mau memproyeksi kondisi neraca perdagangan pada Mei tahun ini. "Lebih baik menunggu rilis datanya," katanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kinerja impor sebulan sebelum Lebaran dalam dua tahun terakhir cenderung meningkat, sedangkan ekspor cenderung melemah. Pada Mei 2016, nilai ekspor mencapai US$ 11,52 miliar, turun tipis dari bulan sebelumnya yang sebesar US$ 11,69 miliar. Sedangkan pada Mei 2017, ekspor US$ 13,28 miliar.
Dari sisi impor, nilainya pada Mei 2016 sebesar US$ 11,14 miliar, naik 3,03% dari sebulan sebelumnya. Lalu, impor Mei 2017 mencapai US$ 13,77 miliar, melonjak 15,25% dari sebulan sebelumnya. Lonjakan impor Mei tahun lalu utamanya berasal dari bahan baku/penolong yang meningkat dari US$ 8,98 miliar menjadi US$ 10,52 miliar.
Pelemahan rupiah
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, kinerja impor pada Mei tahun ini masih akan tinggi karena ada keterlambatan impor dari bulan sebelumnya. Impor terutama pada barang konsumsi untuk persiapan saat Ramadan.
Kenaikan nilai impor juga menjadi efek dari pelemahan rupiah. "Teman saya mengimpor dari China untuk dijual kembali di Tanah Abang, volumenya sama tetapi pada akhirnya menaikan harga jualnya," terang Lana kepada Kontan.co.id, Senin (11/6).
Sayangnya pelemahan rupiah tak lantas membuat nilai ekspor Indonesia meningkat lebih tinggi. Hal itu terjadi karena ekspor Indonesia masih sangat tergantung dengan harga komoditas perkebunan dan pertambangan. Seperti diketahui, harga batubara dan minyak sawit mentah (CPO) pada Mei 2018 masih belum begitu membaik dibandingkan tahun sebelumnya. "Kenaikan harga minyak mungkin membantu ekspor," tambah Lana.
Peneliti Senior Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, peluang defisit neraca perdagangan pada Mei tahun ini cukup besar, meski tak setinggi defisit April. Dia memperkirakan, defisit neraca dagang kali ini akan ada di bawah US$ 1 miliar.
Perkiraan defisit disebabkan oleh kinerja impor yang kembali meningkat. "Karena ada kenaikan impor migas dan nonmigas akibat pelemahan rupiah dan kenaikan harga minyak," jelas Faisal.
Sedangkan ekspor menurut Faisal, relatif masih lemah lantaran tekanan dari negara-negara mitra utama terhadap ekspor CPO dan batubara. Kebijakan India menaikkan bea masuk CPO menjadi 44% dan produk olahannya sebesar 54% menekan ekspor minyak sawit dan turunannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News