Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi
Jika ditelusuri dari implementasi kebijakannya, kami melihat implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) selama periode 2015-2018 selalu memberikan pengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja di sektor IHT. PMK yang terbit tahun 2016, 2017 dan 2018 secara berturut-turut terindikasi berkontribusi pada penurunan jumlah tenaga kerja IHT sebesar 7,77%, 4,26%, dan 4,88% .
Dari dimensi human capital, isu kenaikan CHT bagi pabrikan kecil dan menengah ternyata berpengaruh juga pada turunnya motivasi hingga efektifitas kerja pekerja di pabrikan.
Baca Juga: Update corona Kota Depok: Jumlah RW rawan COVID-19 berkurang drastis
“Hasil wawancara kami dengan beberapa responden, ketidakstabilan aturan setiap tahunnya membuat perusahaan harus selalu siap dengan opsi terburuk seperti penghentian operasional atau pemangkasan karyawan, dan inilah yang lantas menimbulkan kecemasan para pekerja di kalangan akar rumput karena khawatir akan nasib mereka di masa depan,” kata Putra.
Jika ditinjau dari aspek gender, IHT merupakan industri strategis yang memberi akses lebih banyak bagi pekerja perempuan dengan tingkat pendidikan terbatas, jika dibandingkan dengan industri manufaktur lain seperti garmen dan tekstil.
Berdasarkan data BPS (2017), tercatat bahwa 86 % dari seluruh pekerja di sektor pengolahan tembakau adalah pekerja perempuan. Sementara itu, data World Bank (2018) mencatat persentase tingkat pendidikan pekerja perempuan di IHT untuk tamatan SD selalu di atas 30 persen di tahun 2011-2015.
“Temuan kami di lapangan, perusahaan skala kecil dan menengah di daerah sentra tembakau melakukan proses rekrutmen tenaga kerja yang berangkat dari asas gotong royong dan kepedulian sesama masyarakat yang masih menganggur sehingga ditawarkan untuk bekerja di pabrik. Namun, praktik ini belakangan sulit berjalan karena perusahaan semakin tertekan regulasi yang memaksa mereka untuk melakukan efisiensi setinggi mungkin,” tegas Putra.
Baca Juga: IPC percepat pergeseran bisnis kepelabuhanan ke arah digital di era normal baru
Keadaan pandemi saat ini tidak luput dari perhatian FOSES, Putra menyebut IHT bisa semakin terpuruk karena perekonomian diprediksi akan stagnan bahkan negatif.
“Bahkan sebelum terjadinya pandemi, tenaga kerja di IHT tidak mudah untuk dapat terserap oleh industri lainnya. Jika tenaga kerja dirumahkan akibat pandemi saat ini, akan semakin sulit untuk mereka mencari pekerjaan pengganti. Peningkatan jumlah angka pengangguran, pada akhirnya tentu akan semakin menambah beban negara,” jelasnya.
Wawan Juswanto Analis Kebijakan Ahli Madya, Ketua Kelompok Analis Pajak Internasional, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan menyatakan pembahasan kebijakan CHT pihaknya telah melalui prosedur panjang dan melibatkan stakeholders.
“Dari sana kami bisa memproyeksikan dampaknya apa saja dan bagaimana mitigasi risikonya, misalnya dengan alokasi DBH CHT dan Pajak Rokok ke Daerah, sampai yang terbaru, dukungan terhadap IHT selama pandemi COVID-19 melalui fasilitas penundaan pelunasan cukai untuk pembelian pita cukai sejak tanggal 8 April 2020 sampai 9 Juli 2020 dengan jangka waktu penundaan 90 hari,” tutur Wawan dalam konferensi pers Telaah Multidimensi Kenaikan Cukai Terhadap Masa Depan Pekerja IHT, Rabu (17/6).
Baca Juga: Kawasan industri belum berkontribusi ke pendapatan Intiland (DILD) di kuartal I 2020