kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.504.000   5.000   0,33%
  • USD/IDR 15.935   0,00   0,00%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Kenaikan cukai dan pandemi surutkan serapan tenaga kerja di industri hasil tembakau


Kamis, 18 Juni 2020 / 22:22 WIB
Kenaikan cukai dan pandemi surutkan serapan tenaga kerja di industri hasil tembakau
ILUSTRASI. Pekerja memproduksi rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) secara manual di pabrik rokok PT Praoe Lajar yang menempati bekas kantor perusahaan listrik swasta Belanda NV Maintz & Co, di kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, Senin (19/8/2019). Kementerian Per


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA.Cukai Hasil Tembakau (CHT) adalah salah satu komponen penerimaan negara dengan tren yang selalu meningkat setiap tahunnya. Laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai akhir Mei 2020 menunjukkan penerimaan cukai hasil tembakau mempunyai porsi terbesar dalam penerimaan cukai, yakni Rp 66,63 triliun atau tumbuh 18,84%. 

Dari sisi tenaga kerja, berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian pada tahun 2019, IHT menyerap tenaga kerja sebanyak 4,28 juta pekerja di industri manufaktur dan distribusinya. Tidak hanya itu, sektor tembakau juga menyerap sekitar 1,7 juta pekerja di perkebunan tembakau. 

Baca Juga: Walau PSBB dilonggarkan, permintaan kawasan industri diprediksi masih tertunda

Jumlah ini menempatkan sektor tembakau menjadi sektor kelima terbesar di tanah air dalam hal penyerapan tenaga kerja. Tingginya serapan tenaga kerja di industri ini disebabkan ragam kategori pabrikan yang ada di Indonesia mulai dari pabrikan kecil, menengah hingga besar. 

Pabrikan besar biasanya menyerap tembakau kualitas tertinggi, serta menghasilkan produk dengan volume tertinggi di atas 3 miliar batang per-tahun untuk SKM dan SPM, serta di atas 2 miliar untuk SKT. 

Sedangkan pabrikan menengah dan kecil, menyerap kualitas tembakau yang ada di bawahnya, serta menghasilkan volume produksi yang lebih kecil pula. Keberagaman pabrikan dan tingkatan inilah yang menghidupkan IHT di Indonesia selama berpuluh tahun menjadi industri yang strategis serta memberi kontribusi yang positif kepada negara. 

Namun di balik itu, para pelaku Industri Hasil Tembakau di Indonesia hampir kehilangan kemampuan untuk tetap menjalankan usahanya. Penelitian dari Forum for Socio-Economic Studies (FOSES) menyoroti sepak terjang para pelaku IHT dalam upaya mempertahankan keberlanjutan usahanya di tengah kebijakan yang kian eksesif khususnya dalam hal cukai, dan salah satu dampaknya berimbas kepada tenaga kerja di industri padat karya ini. 

Baca Juga: PPh penemu vaksin corona bakal didiskon hingga 300% dari biaya penelitian

FOSES menyoroti bahwa IHT menjadi industri yang mampu menyerap tenaga kerja perempuan dengan tingkat pendidikan dan skill yang relatif terbatas. Fokus penelitian dampak kenaikan CHT terhadap ketenagakerjaan dilakukan dari beberapa tinjauan dimensi, antara lain ekonomi, budaya, gender dan human capital

“Kami melakukan studi di 6 kota penghasil tembakau yang ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk melihat bagaimana dampak kenaikan cukai, termasuk wacana kebijakan terkait penyederhanaan tarif cukai berpengaruh pada kemampuan pabrikan, khususnya skala kecil dan menengah, dalam menyerap tenaga kerja atau mempertahankan pekerja yang ada. Hasilnya, dalam berbagai tinjauan multidimensi, kenaikan CHT menjadi salah satu faktor terbesar bagi perusahaan untuk melakukan rasionalisasi jumlah tenaga kerja setiap tahunnya,” tutur Putra Perdana, Ketua Tim Riset FOSES dalam paparan hasil riset Telaah Multidimensi Kenaikan Cukai terhadap Masa Depan Pekerja di Industri Hasil Tembakau (17/6). 

Penelitian menunjukkan bahwa rencana penyederhanaan struktur tarif cukai memiliki dampak negatif terhadap industri dan tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan dari simulasi penyederhanaan struktur tarif cukai model estimasi simplifikasi dari 10 layer ke 6 layer. Hasilnya, setiap terjadi pengurangan 1 layer dari struktur tarif CHT akan berpotensi pada turunnya volume produksi rokok SKM sebesar 7%, SKT sebesar 9%, dan SPM sebesar 6%. 

Menurut Putra jika penyederhanaan tarif CHT terus dilanjutkan, akan ada dampak pada tenaga kerja dan volume produksi rokok dengan arah koefisien negatif. Artinya, ada indikasi penyederhanaan tarif CHT dari 10 layer menjadi 6 layer berpotensi menurunkan tenaga kerja IHT sebesar 18,4% dan menurunkan volume produksi rokok sebesar 3,6%. 

Baca Juga: Ada corona, LMAN berikan relaksasi kepada mitra

Jika ditelusuri dari implementasi kebijakannya, kami melihat implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) selama periode 2015-2018 selalu memberikan pengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja di sektor IHT. PMK yang terbit tahun 2016, 2017 dan 2018 secara berturut-turut terindikasi berkontribusi pada penurunan jumlah tenaga kerja IHT sebesar 7,77%, 4,26%, dan 4,88% .

Dari dimensi human capital, isu kenaikan CHT bagi pabrikan kecil dan menengah ternyata berpengaruh juga pada turunnya motivasi hingga efektifitas kerja pekerja di pabrikan.

Baca Juga: Update corona Kota Depok: Jumlah RW rawan COVID-19 berkurang drastis

“Hasil wawancara kami dengan beberapa responden, ketidakstabilan aturan setiap tahunnya membuat perusahaan harus selalu siap dengan opsi terburuk seperti penghentian operasional atau pemangkasan karyawan, dan inilah yang lantas menimbulkan kecemasan para pekerja di kalangan akar rumput karena khawatir akan nasib mereka di masa depan,” kata Putra. 

Jika ditinjau dari aspek gender, IHT merupakan industri strategis yang memberi akses lebih banyak bagi pekerja perempuan dengan tingkat pendidikan terbatas, jika dibandingkan dengan industri manufaktur lain seperti garmen dan tekstil. 

Berdasarkan data BPS (2017), tercatat bahwa 86 % dari seluruh pekerja di sektor pengolahan tembakau adalah pekerja perempuan. Sementara itu, data World Bank (2018) mencatat persentase tingkat pendidikan pekerja perempuan di IHT untuk tamatan SD selalu di atas 30 persen di tahun 2011-2015. 

“Temuan kami di lapangan, perusahaan skala kecil dan menengah di daerah sentra tembakau melakukan proses rekrutmen tenaga kerja yang berangkat dari asas gotong royong dan kepedulian sesama masyarakat yang masih menganggur sehingga ditawarkan untuk bekerja di pabrik. Namun, praktik ini belakangan sulit berjalan karena perusahaan semakin tertekan regulasi yang memaksa mereka untuk melakukan efisiensi setinggi mungkin,” tegas Putra. 

Baca Juga: IPC percepat pergeseran bisnis kepelabuhanan ke arah digital di era normal baru

Keadaan pandemi saat ini tidak luput dari perhatian FOSES, Putra menyebut IHT bisa semakin terpuruk karena perekonomian diprediksi akan stagnan bahkan negatif. 

“Bahkan sebelum terjadinya pandemi, tenaga kerja di IHT tidak mudah untuk dapat terserap oleh industri lainnya. Jika tenaga kerja dirumahkan akibat pandemi saat ini, akan semakin sulit untuk mereka mencari pekerjaan pengganti. Peningkatan jumlah angka pengangguran, pada akhirnya tentu akan semakin menambah beban negara,” jelasnya. 

Wawan Juswanto Analis Kebijakan Ahli Madya, Ketua Kelompok Analis Pajak Internasional, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan menyatakan pembahasan kebijakan CHT pihaknya telah melalui prosedur panjang dan melibatkan stakeholders

“Dari sana kami bisa memproyeksikan dampaknya apa saja dan bagaimana mitigasi risikonya, misalnya dengan alokasi DBH CHT dan Pajak Rokok ke Daerah, sampai yang terbaru, dukungan terhadap IHT selama pandemi COVID-19 melalui fasilitas penundaan pelunasan cukai untuk pembelian pita cukai sejak tanggal 8 April 2020 sampai 9 Juli 2020 dengan jangka waktu penundaan 90 hari,” tutur Wawan dalam konferensi pers Telaah Multidimensi Kenaikan Cukai Terhadap Masa Depan Pekerja IHT, Rabu (17/6).

Baca Juga: Kawasan industri belum berkontribusi ke pendapatan Intiland (DILD) di kuartal I 2020

Kasubdit Hubungan Kerja, Direktorat Persyaratan Kerja Kementerian Tenaga Kerja Sumondang menyatakan, perlu kehati-hatian dalam menetapkan besaran tarif cukai mengingat dampaknya yang bersifat multiplier effect, salah satunya terhadap bidang ketenagakerjaan. 

“Kami juga rekomendasikan agar ada roadmap yang melibatkan lintas kementerian/lembaga, untuk mengatur titik keseimbangan industri rokok. Di sisi lain, Kemnaker terus mengupayakan pembinaan dan pengawasan norma-norma perlindungan kerja dan kesejahteraan bagi petani dan pekerja/buruh industri tembakau, khususnya yang terkait dengan hubungan kerja, pengupahan dan jaminan sosial tenaga kerja,” kata Sumondang dalam konferensi pers Telaah Multidimensi Kenaikan Cukai Terhadap Masa Depan Pekerja IHT, Rabu (17/6).

Baca Juga: ABM Investama (ABMM) akan lebih agresif incar kontrak baru jasa pertambangan

Di sisi lain, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok (GAPERO) Surabaya Sulami Baharmenyatakan, kondisi ketenagakerjaan di perusahaan tembakau saat ini sangatlah sulit. Di satu sisi, perusahaan diminta untuk terus membayar cukai yang tinggi, diiringi dengan pembatasan-pembatasan lainnya. Namun di sisi lain, industri ini diminta agar jangan sampai ada PHK dan tetap beroperasional. 

“Isu tenaga kerja di Indonesia merupakan isu yang sangat kompleks, jumlah pekerja dengan pendidikan rendah di Indonesia masih sangat banyak, dan tidak bisa diabaikan keberadaannya. Oleh karenanya, industri strategis seperti IHT sangat berperan dalam hal ini. Jangan sampai mengabaikan kebutuhan mendasar masyarakat dan akibatnya banyak angka pengangguran dan kemiskinan yang tidak terlihat oleh data,“ ungkapnya dalam konferensi pers Telaah Multidimensi Kenaikan Cukai Terhadap Masa Depan Pekerja IHT, Rabu (17/6).

Sulami juga menambahkan bahwa dirinya mengapresiasi niat dari peneliti di lembaga ini untuk mengkaji berbagai sudut pandang, serta melakukan validasi langsung dengan tokoh-tokoh kunci di sentra tembakau, sehingga semua pemangku kepentingan ketahui kondisi riilnya. “Saya berharap pemerintah bisa lebih berpihak pada kepentingan masyarakat dalam menciptakan aturan pengendalian produk tembakau,” jelas Sulami. 

Baca Juga: Permintaan CPO diperkirakan membaik pada semester II 2020, ini sebabnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×