Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan anggaran nominal Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) tahun ini diprediksi akan berdampak pada masyarakat kurang mampu, kendati tidak signifikan mendongkrak konsumsi secara nasional.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan,dampak kenaikan BPNT ini dirasakan masyarakat kurang mampu kendati tak signifikan mendorong pertumbuhan konsumsi secara nasional.
"Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi 40% pengeluaran paling bawah terhadap total konsumsi per September 2019 hanya 17,7%. Dalam hal ini, masyarakat berpenghasilan rendah yang rentan terkena inflasi pangan dan bencana, belum tercover di dalam BNPT," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (19/1).
Baca Juga: Efektivitas kenaikan BPNT tergantung pada program pemerintah
Dengan kata lain, Bhima menyarankan agar pemerintah dapat memperluas cakupan penerima BPNT ke ranah masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya di daerah rawan bencana.
Kemudian, dengan cakupan yang lebih luas Bhima menuturkan agar nominal BNPT yang saat ini senilai Rp150.000 masih perlu disesuaikan kembali. "Idealnya di atas Rp 440.000 sesuai dengan garis kemiskinan per-September 2019," kata Bhima.
Di sisi lain, Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Fajar B. Hirawan juga mengatakan, kebijakan bantuan sosial di tahun 2020 ini memang perlu ditingkatkan dan diperluas lagi.
Baca Juga: Bantuan BPNT naik Rp 150.000 per keluarga penerima manfaat
"Meskipun inflasi inti terjaga di level 3%, tetapi pemerintah harus mewaspadai adanya lonjakan harga akibat beberapa faktor," ujar Fajar.
Beberapa faktor tersebut misalnya gagal panen yang menyebabkan kenaikan harga pangan (volatile food inflation), serta kenaikan beberapa iuran dan tarif seperti BPJS Kesehatan dan beberapa tarif lainnya (administered price inflation).
Fajar merefleksi kemungkinan tersebut dari tahun 2019 lalu, tepatnya pada bulan Juni, di mana inflasi harga bergejolak (volatile food inflation) mulai merangkak naik. Tarifnya pun lebih tinggi apabila dibandingkan dengan inflasi inti dan inflasi harga yang diatur oleh pemerintah.
Intinya, menurut Fajar, kenaikan BNPT ini dirasa sudah cukup tepat. Namun, diharapkan pemerintah juga tetap bersiap dengan beberapa dampak lain yang kemungkinan akan mengikuti.
Baca Juga: BPS: Jumlah penduduk miskin di Indonesia turun pada September 2019
"Angka inflasi 2,7% di tahun 2019 tidak dapat dijadikan patokan. Jika pemerintah ingin mempertahankan angka inflasi pada level 3%, maka pemerintah harus sadar betul bahwa perlu banyak buffer policy untuk meredam kenaikan pada administered inflation dan volatile food inflation," ungkapnya.
Kemudian, sama seperti Bhima, menurut Fajar jumlah KPM BPNT ini juga perlu ditambah, tetapi penambahan tersebut tetap harus tepat sasaran. Apalagi saat ini pemerintah memasang target angka kemiskinan di level 9%.
Artinya, pemerintah perlu melakukan pendataan ulang serta pengukuran yang tepat agar ke depannya BPNT ini dapat berdampak secara maksimal ke masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News