kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kemudahan berusaha kehutanan di RUU Cipta Kerja tak sejalan dengan lingkungan


Rabu, 26 Februari 2020 / 16:33 WIB
Kemudahan berusaha kehutanan di RUU Cipta Kerja tak sejalan dengan lingkungan
ILUSTRASI. Ladang serai yang berada di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser.


Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

Isna mengatakan, perubahan pasal ini justru berpotensi membuat penegakan hukum kebakaran hutan di area konsesi perusahaan semakin tumpul. Pasal ini bisa diartikan bahwa setiap kebakaran yang terjadi di areal konsesi perusahaan tidak serta merta menjadi tanggung jawab perusahaan.

"Lalu kalau kementerian lingkungan hidup dan kehutanan ingin menggugat, menggugat siapa?," ujar dia.

Ketiga, perubahan pasal 19. Pasal ini menyebutkan perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Padahal pasal sebelumnya menyebutkan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Ini menunjukkan hilangnya partisipasi DPR dalam membuat keputusan bersama pemerintah," ungkap dia.

Baca Juga: Izin tambang di omnibus law beralih, daerah pertanyakan kesiapan pemerintah pusat

Keempat, perubahan pasal 18. Pasal ini menyebutkan, Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 % (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Akan tetapi pasal ini diubah menjadi "Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS dan/atau pulau.

Isna mengatakan, perubahan ini justru berpotensi semakin membuat kerusakan lingkungan. Sebab, syarat minimal luas kawasan hutan yang saat ini saja telah terjadi kerusakan. Apalagi jika syarat minimal itu tidak ada batasan pastinya dan hanya ditentukan pemerintah pusat.

"Padahal jika nanti terjadi kerusakan, yang pertama kali merasakan masyarakat setempat, pemerintah daerah yang disalahkan pertama kali oleh masyarakat," jelas dia.

Kelima, perubahan pasal 15. Pasal ini diubah dimana salah satu poinnya menyatakan bahwa penyelesaian tumpang tindih kawasan hutan diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres).

Isna menyatakan, seharusnya pemerintah mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan mendengarkan penjelasan masing-masing pihak sebelum menyelesaikan permasalahan. Bukan serta merta membuat peraturan presiden untuk melakukan penyelesaian.

Keenam, perubahan pasal 77. Perubahan pasal ini berpotensi membuat proses hukum bidang kehutanan semakin lama. Pasalnya kedudukan Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberikan wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dengan lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pengurusan hutan, berada dibawah pengawasan penyidik kepolisian.

Padahal, kata Isna, untuk melakukan penyidikan bidang kehutanan diperlukan kemampuan dan keahlian khusus. Menurut Isna, saat ini yang menjadi permasalahan adalah belum optimalnya koordinasi antara kepolisian dan kementerian/lembaga terkait.

ICEL mendorong pemerintah dan DPR dapat mereview kembali isi pasal-pasal UU Kehutanan yang akan diubah atau dihapus. ICEL meminta jangan sampai perubahan atau penghapusan itu menjadi kemudahan berusaha yang mengorbankan kelestarian alam dan lingkungan.

Sebelumnya, Asisten Deputi Pelestarian Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dida Gardera mengatakan, omnibus law cipta lapangan kerja tidak akan mengesampingkan keberlangsungan lingkungan hidup.

"Tujuan utama kan untuk menciptakan lapangan kerja dan ini tidak dikotomikan dengan lingkungan hidup, dua-duanya jalan," kata Dida, Selasa (28/1).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×