Reporter: Syarifah Nur Aida | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih enggan membuka akses bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk membuka rekening wajib pajak potensial. OJK masih mengacu pada UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang memandatkan kerahasiaan data nasabah. Padahal, Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyebut pembukaan akses bisa membawa angin segar bagi penerimaan pajak, meski ia tak merinci berapa potensinya. "Pokoknya naik signifikan," paparnya di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (14/3).
Bambang menegaskan, setiap instansi pemerintah, tak terkecuali bagi OJK, harus mementingkan optimalisasi penerimaan pajak untuk kepentingan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Kekhawatiran soal penyalahgunaan data bisa diantisipasi dengan restriksi akses, semisal hanya memberikan kewenangan di level pejabat tertentu.
Indonesia disebut sebagai satu-satunya negara yang masih menutup rapat akses keterbukaan informasi perbankan untuk perpajakan, tercatat sebagai anggota Organization for Economic Co-operation and Development yang mendukung pembukaan akses tersebut. "Di seluruh dunia, kerahasiaan bank sudah minim. Indonesia mau ikut tren global atau tidak," ujar Bambang.
Keinginan keras DJP untuk membuka akses rekening tersebut tentu beralasan, mengingat target pajak dipatok di angka Rp 1.110,2 triliun rupiah. "Sekarang pajak orang pribadi kita uber," papar Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Pajak DJP Dadang Suwarna. Meski demikian, OJK bersikukuh tetap tak mau membuka akses selama tak ada revisi UU Perbankan terkait.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News