Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kemenko Maritim dan Investasi (Marves) menilai, akselerasi penggunaan kendaraan listrik semakin krusial. Hal ini tidak hanya bertujuan untuk mendukung tercapainya target penurunan emisi karbon, melainkan juga mendorong penghematan subsidi BBM di Indonesia.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves Rachmat Kaimuddin menyoroti proyeksi pertumbuhan jumlah kendaraan nasional yang dapat menghambat komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) seperti yang ditekankan dalam Paris Agreement, target NDC. Yakni 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,20% dengan dukungan internasional pada tahun 2030, serta target Net-Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat.
Dalam catatan pemerintah, jumlah kendaraan di Indonesia saat ini sangat banyak hingga 21 juta mobil dan 115 juta motor. "Tren ini akan secara konsisten bertambah seiring dengan jumlah pertumbuhan ekonomi penduduk Indonesia,” ujar Rachmat dalam siaran pers yang diterima Kontan, Kamis (15/12).
Baca Juga: Soal Subsidi Kendaraan Listrik, Pemerintah Tidak Akan Buru-Buru
Apabila pertambahan kendaraan tersebut terus disandingi dengan penggunaan BBM, maka Indonesia akan dihadapkan pada peningkatan kebutuhan subsidi BBM serta peningkatan emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi.
Padahal, Indonesia saat ini adalah negara pengimpor minyak dan juga melakukan subsidi energi, khususnya subsidi BBM. Peningkatan kebutuhan BBM berbanding lurus dengan kebutuhan biaya subsidi, yang mana subsidi tersebut sebenarnya bisa dialokasikan untuk pembangunan negara.
Rachmat optimistis akselerasi penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) merupakan solusi praktis terhadap tantangan emisi gas rumah kaca dan subsidi BBM. Teknologi KBLBB sudah terbukti keandalannya di berbagai negara. Selain itu, pemerintah telah mengeluarkan landasan kebijakan untuk mendorong percepatan adopsi KBLBB di dalam negeri. Industri KBLBB roda dua dan empat pun mulai berkembang di Indonesia.
Namun, mempertimbangkan status industri KBLBB Indonesia sebagai “infant industry”, Rachmat juga menekankan pentingnya dukungan kuat dari seluruh pemangku kepentingan agar Indonesia dapat memanfaatkan potensi KBLBB secara efektif dan masif.
Hingga Desember 2022, pengguna KBLBB masih relatif lebih rendah dibanding kendaraan yang menggunakan internal combustion engine (ICE).
Per Desember 2022, penjualan motor listrik mencapai 15.000 unit, sementara mobil listrik sebesar 8.000 unit. Angka ini masih jauh dibanding total penjualan kendaraan ICE hingga 6,5 juta unit motor dan 1 juta unit mobil berdasarkan data AISI dan Gaikindo pada 2019 silam.
"Perbandingan penjualan kendaraan listrik dengan total populasi kendaraan tentu lebih kecil lagi, yaitu 0,01% untuk motor dan 0,04% untuk mobil," ungkap Rachmat.
Berdasarkan data tersebut, pemerintah menyadari bahwa adopsi kendaraan listrik di Indonesia perlu didorong agar lebih maksimal. Kolaborasi pemerintah dan swasta memegang peranan penting untuk mendorong mendorong minat dan memotivasi perubahan perilaku masyarakat untuk mengadopsi kendaraan listrik.
Riset BloombergNEF menunjukkan bahwa penggunaan kendaraan listrik akan meraih adopsi massal apabila pangsa pasar kendaraan listrik dari penjualan kendaraan per tahun sebesar 5-10% tercapai. Angka tersebut setara dengan penjualan 650.000 motor listrik dan 100.000 mobil listrik per tahun di Indonesia jika menggunakan pangsa pasar 10%.
Untuk mengakselerasi adopsi kendaraan listrik, pemerintah masih harus mengatasi beberapa tantangan industri di Indonesia. Seperti terbatasnya produsen kendaraan listrik Indonesia yang dapat memberikan variasi jenis kendaraan bagi konsumen, ekosistem kendaraan listrik yang masih perlu dilengkapi agar bersaing dengan ekosistem kendaraan BBM.
Serta perbedaan harga yang cukup signifikan antara kendaraan listrik dan kendaraan ICE untuk kendaraan yang setara sehingga dapat mempengaruhi minat beli masyarakat.
Merujuk pada pengalaman negara-negara lain seperti Thailand, India, dan China dalam mengatasi tantangan industri kendaraan listrik, fasilitas berupa insentif kepada pengguna menjadi salah satu solusi kebijakan yang teruji.
Insentif ini berperan penting dalam mengurangi selisih harga kendaraan ICE dan kendaraan listrik yang ramah lingkungan, sehingga kendala perbedaan harga menjadi tidak signifikan. "Selain itu, fasilitasi insentif kepada industri otomotif juga menjadi opsi kebijakan yang dapat diaplikasikan untuk mendorong produksi kendaraan listrik," jelas Rachmat.
Sebelumnya, pemerintah telah memberikan beberapa insentif kepada pengguna kendaraan listrik. Di antaranya adalah PPnBM 0% bagi kendaraan listrik Completely Knock Down (CKD) yang memenuhi syarat TKDN, pembebasan aturan ganjil genap bagi pengguna kendaraan listrik, tarif pajak daerah (PKB dan BBNKB) yang lebih rendah dibanding untuk kendaraan ICE, hingga kemudahan DP 0% untuk kendaraan listrik.
Namun, mengingat posisi industri dan pasar Indonesia yang belum mencapai adopsi massal, maka saat ini pemerintah tengah menyusun program insentif yang dapat mendorong ketertarikan dan daya beli masyarakat terhadap kendaraan non-BBM fosil yang lebih luas, serta memacu perkembangan industri otomotif energi baru.
Baca Juga: Pabrikan Otomotif Sambut Positif Rencana Pemberian Insentif Kendaraan Listrik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News