kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.476.000   8.000   0,54%
  • USD/IDR 15.874   77,00   0,48%
  • IDX 7.155   -6,65   -0,09%
  • KOMPAS100 1.094   -0,34   -0,03%
  • LQ45 869   -2,96   -0,34%
  • ISSI 217   0,62   0,29%
  • IDX30 444   -2,44   -0,55%
  • IDXHIDIV20 536   -3,97   -0,73%
  • IDX80 126   -0,02   -0,01%
  • IDXV30 135   -1,06   -0,78%
  • IDXQ30 148   -1,10   -0,74%

Kemendagri lemah awasi daerah otonom hasil pemekaran


Jumat, 29 April 2011 / 08:55 WIB
ILUSTRASI. Juru bicara pemerintah untuk penanganan corona Achmad Yurianto saat memberikan keterangan di Graha BNPB, Jakarta.


Reporter: Kurnia Dwi Hapsari | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Kementerian Dalam Negeri gagal melakukan kontrol terhadap daerah. Ini terbukti, setelah dilakukan evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP), hasil evaluasi menunjukkan bahwa 205 DOHP berkinerja buruk.

Dari tahun 1999 sampai 2009, daerah otonom tumbuh pesat. Dalam kurun waktu 10 tahun itu, jumlah DOHP sebanyak 205, yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota. Dari hasil evaluasi di 205 daerah itu, tidak ada satu pun Kabupaten, Kota maupun Provinsi yang memperoleh peringkat di atas 60%. Bahkan dari data yang diperoleh tim evaluasi, masih banyak daerah yang indikatornya mendapat angka 0%.

Pengamat Pemerintah Syarif Hidayat menyatakan, ada 2 penyebab gagalnya proses evaluasi DOHP yang dilakukan kementerian dalam negeri bersama tim evaluasi. Syarif bilang, ada kelemahan metodologis dalam pelaksanaan pengumpulan data, sehingga kabupaten puncak Jaya di Papua mendapatkan total angka hanya 1,98 persen. Kabupaten tersebut, hanya mengisi data pelayanan publik. Sementara untuk indikator kesejahteraan masyarakat, good governance dan daya saing mendapat 0%.

"Ini kelemahan atau ketidakberesan pengumpulan data. Bisa jadi data sudah ada tapi tidak diberikan daerah atau daerah tidak mau memberikan data," ujarnya. Selain itu, indikasi lain buruknya hasil evaluasi DOHP akibat kelemahan Kemendagri dalam menjalankan fungsi pembinaan, pengawasan dan koordinasi terhadap daerah.

Pihaknya juga menyatakan, hasil evaluasi DOHP yang dilakukan tahun 2010 itu, tidak bisa dijadikan rujukan untuk desain besar penataan daerah atau sebagai rujukan pemekaran. "Ini masih sangat lemah. Data-data daerah yang terisi juga layak untuk dipertanyakan, siapa tahu data direkayasa," ujar Syarief.

Menurut anggota tim pakar evaluasi DOHP Alberto D. Hanani, terdapat 30 daerah yang tidak melaporkan kinerja daerahnya, alasannya karena daerah tersebut belum bisa melengkapi data dari indikator yang harus dipenuhi. Indikator itu antara lain, kesejahteraan rakyat, good governance, pelayanan publik dan daya saing.

"Ada 30 daerah yang tidak memenuhi persyaratan, datanya kosong, setelah kita konfirmasi, data berubah-ubah. Tapi tetap harus melakukan evaluasi," ujarnya. Sehingga, dari hasil evaluasi itu terlihat jelas, bahwa daerah yang tidak mengumpulkan data mendapat peringkat terbawah.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan menyatakan, evaluasi secara menyeluruh daerah pemekaran baru dilakukan pertama kali. Ia menyadari, dari hasil evaluasi 78 persen daerah berkinerja buruk. Tapi menurut Djoe, hasil evaluasi itu bisa menunjukkan kondisi daerah hasil pemekaran dan menjadi kebijakan di Desain Besar Penataan Daerah (Desertada). "Hasil evaluasi ini bisa jadi formulasi untuk pemekaran ke depan," terang Djoe.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×